Rabu, 18 Mei 2016

“Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak Kelihatan”



Oleh: Agum Patria Silaban
Kitab Perjanjian Baru, khususnya dalam Matius 16, 18, mempergunakan kata “Ekklesia” untuk istilah Gereja. Sedangkan dalam Kitab Perjanjian Lama menggunakan kata “Kahaal”. Pada zamannya orang-orang Timur Dekat menggunakan istilah Ekklesia untuk menggambarkan suatu perkumpulan warga masyarakat secara umum. Persekutuan ini kadang-kadang dimaksud untuk suatu pertemuan resmi dan kadang-kadang untuk suatu kerumunan  massa yang terjadi akibat suatu peristiwa (Kisah Para Rasul 19:32, 39 dan 41). Kemudian pemahaman Ekklesia ini berkembang menjadi suatu persekutuan yang khusus bagi jemaat atau umat Allah dalam rangka beribadat kepada Tuhan. yang sampai saat ini kata Ekklesia atau Gereja dipahami sebagai persekutuan orang-orang kudus (Pengakuan Iman Rasuli). Bangsa Yahudi lebih suka menyebut rumah peribadatan mereka dengan kata “Synagoge”.
Ekklesia dan Kahaal member syarat bahwa gereja merupakan suatu persekutuan orang-orang telah di panggil dan di persekutukan oleh Allah. Dari kedua bentuk persekutuan ini dengan mudah dapat di bedakan apa yang di sebut “Gereja yang Keliahatan” dan “Gereja yang tidak Kelihatan”. Dan memang gereja harus di bedakan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Gereja yang kelihatan dapat di pahami sebagai suatu persekutuan orang-orang yang selalu berselisih paham oleh sebab kadar egoismenya yang tinggi atau persekutuan orang-orang yang tidak saling mengasihi (yang selalu melakukan perbuatan jahat atau Dosa). Dengan formulasi sederhana bahwa gereja yang kelihatan adalah gereja yang dapat dilihat wujudnya dalam bentuk, tempat dan organisasi. Gereja yang kelihatan di pahami sebagai suatu persekutuan orang Kristen yang di landasi oleh iman yang teguh kepada Tuhan Yesus Kristus dan persekutuan orang –orang yang telah di sucikan Tuhan Yesus dan tidak mau di perbudak hawa nafsu dan dosa. Dengan singkat dapat di formulasikan bahwa gereja yang tidak kelihatan dipahami sebagai suatu gereja yang tidak hanya dapat dilihat dalam bentuk dan wujudnya karena sejatinya gereja hanya dapat di pahami didalam iman orang-orang percaya.
Namun, kedua sisi pandang gereja tersebut tidaklah dapat dipisahkan. Karena keduanya bagaikan dua sisi mata uang logam yang dimana kedua sisi pandang ini merupakan sisi pandang suatu gereja yaitu gereja Tuhan Yesus Kristus. Maka dari itu memahami kedua sisi ini haruslah ekstra hati-hati. Lagipula sisi gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan mencakup semua orang-orang percaya kepada Yesus Kristus di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia (bandingkan Roma 9:6; Matius 3:9).
Pada zaman Reformasi kedua sisi pandang ini menjadi sangat nyata dengan adanya teologi Gereja Roma Katolik yang menyatakan: “Extra Ecclesiam Nulla Salus”, artinya di luar gereja Katolik Roma tidak ada keselamatan. Pernyataan ini disanggah oleh Reformator dengan mengatakan bahwa “hanya ada satu gereja yang Kudus dan Am” dengan ini Reformator mengatakan bahwa tidak ada gereja yang sempurna karena masih banyak pengaruh-pengaruh dosa atas semua gereja. Dengan dasar inilah Reformator mengatakan bahwwa “ekklesia militans”, yaitu gereja yang sedang berperang. Gereja yang berperang melawan kemunafikan dan kesesatan. Hanya dengan pertolongan kepala gereja saja, yaitu Tuhan Yesus Kristus, gereja akan memenangkan peperangannya. Pertolongan ini terwujud nila Tuhan Yesus Kristus menenmpatkan jemaat di hadapannya tanpa cacat atau kerut atau yang serupa dengan itu (epesus 5:27). Pada saat inilah “Ekklesia Militans” berubah menjadi  “Ekklesia Triumphans”, yaitu Gereja yang Menang.

AKSARA BATAK DAN PERUBAHAN AGAMA ASLI




BAB I
PENDAHULUAN
Batak
Mungkin banyak kalangan yang bertanya, Siapakah orang Batak?
            Orang Batak adalah salah satu suku dari bangsa indonesia yang tinggal di Sumatra Utara, Sumatra adalah pulau terbesar kedua setelah pulau kalimantan dan terletak pada ujung barat indonesia. Yang mendiami dataran tinggi bukit barisan sekitar Danau Toba (http://id.wikipedia.org/wiki/suku bangsa di indonesia).
            Suku Batak merupakan etnis keenam terbesar setelah jawa, tionghoa-indonesia, madura dan melayu di indoensia. Suku batak terdiri dari dari enam sub suku yaitu angkola dan mandailing di sebelah selatan, toba di pusat, dairi/pakpak di sebelah barat laut, karo di sebelah utara dan simalungun di sebelah timur laut (nainggolan 2012:4).
            Batak sebenarnya sudah sangat jarang di pakai bila meruju kepada kelompok etnis batak selain Batak Toba. Kelompok etnis lain tersebut sudah sangat jarang menyandang predikat batak. Salah satu alasan mengapa predikat batak kini jarang di pakai oleh ke lima etnis batak tersebut adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa batak toba cenderung menyebut diri sebagai batak bukan sebagai toba. Dengan demikian batak dianggap sebagai sinonim dari toba (kozok 2009:11)

Bendera Batak
            Penulis memilih batak unuk studi ini karena penulis sendiri adalah suku batakdan batak merupakan kelompok paling besar diantara sub-suku lainnya dan merupakan pusat kebudayaan bangsa batak.
            Orang Batak tinggal di sekitar Danau Toba, menurut administratif  Negara Kesatuan Republik Indonesi terdiri dari kabupaten tapanuli utara, kabupaten humbang hasundutan kabupaten toba samosir dan kabupaten samosir. Disebelah barat Danau Tiba terdapat gunung Pusuk Buhit yang menurut mitos di kaki pusuk buhit inilah Si Raja Batak atau Orang Batak pertama mendirikan huta atau pemukiman yaitu si anjur mula-mula yang menjadi huta orang batak yang pertama kali (nainggolan 2012:5).

            Orang Batak terutama hidup dari pertanian. Berabad-abad lamanya mereka selalu mengusahakan pertanian sawah dengan perairan terpadu. Maka tidak heran Batak Toba berdiam di lembah-lembah dan sekitar Danau Toba sebab disana ada cukup air untuk persawahan. Kondisi geografis lembah membuat mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi yang kemudian komunitas suku ini hidup dalam ikatan keluarga yang kuat (nainggolan 2012:6).
Orang batak Toba adalah tipe suku yang suka merantau. Mereka akan bermigrasi ketempat-tempat tertentu untuk melangsungkan kehidupan merka sendiri. Meskipun telah merantau mereka tidak akan pernah lupa tu bona ni pinasana (kampung halamannya). Migrasi batak toba adalah mekanisme utama untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi untuk kepadatan penduduk (nainggolan 2012:6)
Keenam sub suku batak memiliki bahasa satu sama lain namun mempunyai banyak persamaan. Namun para ahli membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut. Bahasa batak angkola, mandailing dan toba membentuk rumpun selatan sedangkan karo dan pakpak dairi termasuk rumpun utara dan simalungun sering di golongkan rumpun utara dan rumpun selatan karena merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari batak selatan sebelum bahasa toba dan angkola mandailing terbentuk. Semua dialeg bahasa Batak berasal dari satu bahasa Purba (proto lenguage) (kozok 2009:13).
Bahasa toba, angkola, mandailing tidak banyak berbeda. Malahan angkola dan mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut angkola mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan antara bahasa antara suku-suku Batak, tidak mengherankan tiada juga peredaan-perbedaan varian-varian surat batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat batak yakni karo, simalungun, toba, pakpak dan angkola-mandailing (kozok 2009:14).





BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Tulisan (Aksara) Batak
Banyak ahli berpendapat bahwa aksara Batak berasal dari aksara Semit Kuno, lalu menurun ke Semit Utara, Aramea, masuk ke Brahmi (India Selatan), lalu Pallawa, kemudian Sumatra. Dasar penulisan Batak terdiri dari dua perangkat huruf, Ina Ni Surat dan Anak Ni Surat. Sistem tulisan seperti ini biasanya dipakai di India. Tradisi penulisan aksara Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13.
Di ranah Batak, ada dua bahasa daerah yang berbeda dialeknya: Batak Karo (di utara) dan Batak Toba (di selatan). Selaian Batak Karo, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di utara ini adalah dialek Alas (kelompok non-Batak), dialek Batak Pakpak-Dairi, serta pelbagai dialek turunannya. Ada pun kelompok selatan meliputi Batak-Toba dan Angkola-Mandailing. Sementara itu, dialek Batak Simalungun berbeda dengan dialek utara maupun selatan; dan kemungkinan besar usianya lebih tua dari cabang wilayah selatan.
Sebagai akibat dari penjajahan Belanda pada abad ke-19 setelah sebelumnya berkobar perang antara rakyat Batak dengan pihak kolonial banyak orang Batak Toba pindah ke Dairi, Simalungun, dan Alas. Kini, bahasa Toba banyak digunakan di wilayah Pematangsiantar dan Sidikalang.[1]

Sistem Aksara Batak
wacananusantara.org | Sejarah Perkembangan Bahasa dan Aksara Batak
Pada seminar bertanggal 17 Juli 1988, sejumlah tokoh Batak, dari mulai Batak Angkola, Sipirok, Padang Lawas, Mandailing, Toba, Dairi, Simalungun, dan Batak Karo, mencoba mengembangkan aksara Batak, dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf. Dengan begitu, bahasa Indonesia dapat dituliskan dengan aksara Batak.
Aksara Batak ini memiliki kesamaan dengan aksara Kaganga yang meliputi aksara Rencong (disebut pula aksara Kerinci), aksara Rejang, aksara Lampung. Kemungkinan besar, aksara Batak dengan aksara Kaganga bernenek moyang sama. Akan tetapi, aksara Batak belum pernah digunakan pada tulisan-tulisan permanen seperti pada batu (prasasti) atau pun lempengan atau mungkin belum ditemukan? Kebanyakan, aksara Batak ditorehkan pada tabung bamboo, kulit kayu, dan kertas.[2]
Ada pun aksara Batak adalah aksara semisilabis yang terdiri atas 19 huruf (induk huruf)dan, tergantung pada dialeknya, 5 sampai 7 tanda diakritik untuk menandai vokal dan beberapa konsonan akhir (anak huruf). Silabis adalah tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis.
Berikut bagan aksara-aksara vokal dan konsonan Batak dari berbagai daerah (Toba, mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak) yang berjumlah 19.
Bahasa dan Aksara batak; Vokal-KonsonanBahasa dan Aksara batak; Vokal-Konsonan
Selain aksara vokal dan konsonan, dalam sistem aksara Batak dikenal adanya tanda baca yang disebut pangolat dan saringar. Pangolat adalah tanda yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan, sedangkan saringar berfungsi untuk membuat bunyi vokal dan sengau(-ng) pada huruf konsonan seperti i, o, e, u, ng, ing, dan ong.[3]




Berikut bagan pangolat dan saringar beserta contoh penggunaannya.
Bahasa dan Aksara Batak Panggolat
Bahasa Batak
Semua dialek bahasa batak berasal dari bahasa purba (proto-longuage). Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi indukdari bahasa yang saling berhubungan dengan membuat suatu rumpun bahasa, yang sebagian kosakatanya dapat di rekonstruksikan. Linguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain (kozok 2009:13)

Bahasa Toba, angkola dan mandailing tidak lah jauh berbeda. Malahan angkola dan mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa angkola-mandailing. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku batak, tidak mengherankan juga Suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut.[4]
 Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok bahasa yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan. Namun secara historis bahasa simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan, sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.
Semua dialek bahasa Batak berasal dari suatu bahasa purba (proto language) yang dianggap telah menurunkan beberapa bahasa yang sekarang ada. Sebagian kosakatanya melalui linguistik historis komparatif sampai sekarang diwariskan oleh rumpun batak Utara. Dalam hal ini rumpun utara-lah yang melesarikan bentuk aslinya. Misal kata untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Purba adalah tělu, bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara. Sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ě] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu. Namun banyak contoh lain yang bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan.
Rumpun Bahasa Batak
Bahasa Karo dan Simalungun sering disebut sebagai dua bahasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain. Akan tetapi, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena di situ masing-msaing bahasa memiliki banyak kata dipinjam dari sebrang pembatas mereka. Hal demikian terjadi bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang begitu mencolok di antara kampung-kampung Simalungun dan karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa atau budaya Karo dan Pakpak atu Pakpak dan Toba sekalipun.
Bahasa Toba, Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda. Jika ditelaah lebih jauh, bahasa Angkola dan Mandaling merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan, sehingga pada umunya disebut bahasa Angkola-Mandaling saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, yakni; Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandaling. Namun, kita harus mengingat bahwa dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.
Pustaha “Buku” Orang Batak
Pustaha adalah sebuah buku yang terbuat dari kulit kayu. Pustaha yang sederhana terbuat dari laklak yang dilipat-lipat dan tidak memiliki sampul kayu untuk menjilidnya sedangkan pustaha yang mewah dapat memiliki sampul yang memiliki ukiran yang indah sekali. Pusataha kecil biasanya berukuran 3 x 5 cm hingga pustaha besar yang ukurunnya 40 x 25 cm (kozok 2009:29).
Tulang kerbau di pakai sebagai bahan tulis. Proses penulisan sama dengan di bambu yakni di ujung pisaudan goresan pisau itu kemudian di hitamkan. Bambu adalah bahan yang praktis yang dapat di temukan kapan dan dimana saja (kozok 2009:30).
Aksara Batak yang diukir pada tabung bambu yang dibuat oleh Raja Bunto Pane kepada John Anderson di Penang pada tahun 1832.[5]
Pustaha merupakan naskah yang terbuat dari kulit kayu alim (Aquilaria malaccencis) yang biasa dipakai oleh masyarakat Batak untuk menuliskan hal-hal penting. Kulit kayu ini dibeset dalam carikan panjang, kemudian dilipat seperti alat musik akordion, lalu ditempelkan pada dua sisi sampul kayu yang berfungsi sebagai pengikat. Kadang-kadang jalinan rotan digunakan untuk mengikat pustaha ini, dan tangkai kecil untuk memberi tinta dari jelaga damar dan getah pohon.
Aksara Batak yang diukir pada tabung bambu yang dibuat oleh Raja Bunto Pane kepada John Anderson di Penang pada tahun 1832.
Dahulu, pustaha ditulis oleh datu atau guru dan tukang sihir (dukun). Biasanya mereka menulis tentang pelaksanaan ritual keagamaan, bagaimana menafsirkan sebuah pertanda alam, resep meracik obat tradisional. Hanya masalah administrasi tak dimuat dalam pustaha ini. Pun, tak ada karya sastra seperti ledenda dan mite yang diabadikan melalui pustaha ini; mereka lebih suka memakai tradisi lisan (disebut turi-turian).[6]
Selain kulit kayu, masyarakat Batak, terutama yang bukan golongan pendeta/dukun, mempergunakan bahan-bahan dari bambu untuk menuliskan aksara Batak. Mereka mengukir aksara Batak dengan memakai pisau tajam bagian atas ke dalam lapisan ari bambu tersebut.
BAB III
Perubahan Agama
Parmalim
            Berbicara tentang sistem religi maupun transformasi religi dalam suku batak, kita tidak boleh terlepas dari adanya kepercayaan parmalim. Menurut penulis, agama parmalim adalah agama yang sejarahnya panjang bagi suku batak yang melampui sejarah kekristenan di tanah batak maupun di indonesia yang menganut agama lain.
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.
Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya
Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit.
Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan juni-juli.
Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.
Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim
1.      Kitab Batara Guru
Kitab ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya bumi dan manusia beserta kodrat kehidupan dan kebijakan manusia yang tercermin pada Batara Guru yang mempunyai lambang hitam.

2.      Kitab Debata Sorisohaliapan
Kitab ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing.
3.      Kitab Mangala Bulan
Kitab Mangala Bulan menerangkan tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini menceritakan kekuatan manusia dalam menjalani hidup termasuk bumi dan seni bela diri batak dalam menjalani hidup sehari-hari. Kitab ini terbagi atas dua jenis
4.      Debata Asi-Asi
Kitab ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala Bulan (Debata Natolu) dan induk dari segala kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu pengetahuan manusia, karena manusia adalah titisan Debata Asi-asi.
5.      Kitab Boru Debata
Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri titisan Allah juga mengenai para ratu air.
6.      Kitab Pengobatan
Kitab ini menerangkan tentang bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang sakit menjadi sembuh, bagaimana agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana cara melaksanakan budaya ritual agar manusia itu sehat. Dalam kehidupan orang batak segala sesuatunya termasuk mengenai pengobatan selalu seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka peninggalan leluhur jaman dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Kitab ini dibagi empat bagian.
7.      Falsafah Batak
Kitab ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni musik terutama bidang pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.
8.      Kitab Pane Nabolon
Sejak zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap manusia. Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib seseorang, barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan kebiasaan pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual segalanya lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di bagi dua bagian.
9.      Kitab Raja Uhum Manisia
Kitab ini adalah kitab yang berisi penghakiman.
Kehidupan Batak sebelum masuknya Injil
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya; mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.
Sebelum Injil masuk, masyarakat Batak merupakan penyembah berhala.Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Umumnya mereka  percaya pada kekuatan di alam dan kekuatan benda-benda yang dikeramatkan. Masuknya agama Kristen sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat,terutama bagi masyarakat Batak Toba. Agama Kristen masuk ke tanah Batakdisiarkan oleh Misionaris dari jerman yang bernama Ingwer Ludwic Nommensen pada tahun 1963.Dan Nommensen secara kristiani digelari sebagai Apostel Batak. Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak dan sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu tondi, sahala, dan begu. Konon, pada jaman dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat bermukimnya Sombaon.Sombaon adalah Roh Alam yang tinggi martabatnya dalam kepercayaan Batak Kuno. Roh ini sangat ditakuti karena dipercayai dapat menentukan nasib baik maupaun buruk dari orang-orang yang bermukim di sekitarnya, sehingga pada waktu itu tidak jarang Sombaon atau tempat ini dipuja-puja dengan memberikan pelean (sesajen) dengan harapan akan mendapat keberuntungan dan keselamatan. Dipuncak si atas barita inilah sekitar tahun 1863 yang lalu, DR.I.L.Nommensen menatap lembah Silindung yang begitu indah dan luas, seraya memanjatkan doa nya:  “hidup atau mati,biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaanmu”.
            Menurut kepercayaan masyarakat Batak, awalnya nenek moyang mereka bernama Siraja Batak. Mengukir aksara Batak untuk dapat menulis bahasa Batak. Siraja Batak ini tak tahu bahwa masih ada bahasa-bahasa lain selain bahasa ibunya. Barulah setelah masyarakat Batak menyebar ke desa na uwalu, mereka tahu bahwa masih ada bahasa daerah selain bahasa Batak. Kenyataan ini mereka ketahui setelah datangnya sibontar mata (bangsa asing), kemudian disusul Perang Batak dan Perang Padri. Terbukalah mereka bahwa sebetulnya masih banyak bahasa yang mereka temui di luar Tano Batak.




Masuknya Agama Injil ke Tanah Batak
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ab/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kerk_in_Nainggolan_TMnr_10016596.jpg/220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kerk_in_Nainggolan_TMnr_10016596.jpg
Gereja Batak Toba di desa Nainggolan.
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif.
Sebelum datangnya penginjil jerman ke Tanah Batak telah ada missionaris dari berbagai negara, seperti:
1.      Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
2.      Penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Pada tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
3.      Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft
Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatera. Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab. Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani. Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Pada tahun yang sama—tepatnya pada 7 Oktober 1861—diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak: Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.
Ditinjau dari segi administrasi pemerintahan, kota Tarutung adalah ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis kota Tarutung berbatasan dengan Kecamatan Siborong-borong di sebelah utara, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita.
Pada umumnya masyarakat Tarutung adalah orang Batak Toba. Orang Batak ini adalah salah satu dari sub etnik suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang terdiri dari sub etnik Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola, dan Mandailing. Kota Tarutung mayoritas penduduknya adalah orang Batak Toba yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Tarutung merupakan kota di mana masyarakatnya cukup baik untuk menerima pendatang dari luar suku Batak Toba sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat sejak masuknya pengaruh Barat ke wilayah Silindung khususnya ke wilayah Tarutung. Nommensen yang tiba di Tanah Batak (di Sibolga) pertama kali tahun 1862 adalah salah seorang penginjil yang datang ke wilayah Silindung yang berhasil menyebarkan agama Kristen di sana. Bahkan untuk mengenang jasa Nommensen tersebut maka oleh masyarakat Kristen di Silindung didirikan sebuah monumen yaitu Salib Kasih yang diresmikan dalam tahun 1997. Pada awalnya memang terjadi konflik mengenai pengaruh Barat yang masuk, tetapi akhirnya pangaruh tersebut dapat diterima.
Monumen Salib Kasih merupakan suatu perwujudan dari bentuk peralihan masyarakat batak yang memahami Mula jadi Nabolon dan mempercayai animisme dan hal-hal lainnya kemudian menjadi penganut kepercayaan religi kristen protestan. Sebuah bangunan salib yang sangat besar melambangkan kemenangan umat kristiani dari dosa dan maut. Monumen Salib Kasih tersebut memiliki makna simbolik bagi masuknya ajaran Kristen di Tarutung, dan kini Salib Kasih menjelma sebagai lambang dan trademark kota Tarutung. 
Tingginya bangunan pada Monumen Salib kasih melambangkan sebuah simbol dan makna dalam kepercayaan yang dianut masyarakat batak sebelum mengenal agama dan sesudah mengenal agama yaitu sebuah simbol lambang Trinitas di dalam kepercayaan Kristen yaitu Allah Bapa, Roh Kudus dan anaknya Yesus Kristus dan di dalam kepercayaan kebudayaan Batak yaitu Mula jadi Nabolon melalui pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu. 
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum seutuhnya meninggalkan  kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka inilah yang menjadi warisan kebudayaan bagi orang batak selama hidupnya dan bentuk Transformasi dalam perubahan sosial budaya Batak. Praktik kebudayaan ini menyatukan antara kepercayaan kepada Tuhan dan nilai hidup yang dianut dalam budaya suku bangsa.
Agama dan budaya menjadi sebuah tameng untuk diyakini  masyarakat akan terlaksananya sebuah kehidupan yang baik oleh kelompok tersebut.(Bakker,J.P 1984:150). Bangsa yang berbudaya ialah bangsa yang selalu mengingat sejarahnya.Kini orang Batak menggelar Napak Tilas untuk menghargai Nommensen sebagai pelaku sejarah yang membawa orang Batak keluar dari keterbelakangan.
Dengan adanya pengaruh Barat tersebut, menempa masyarakat Batak Tarutung menjadi masyarakat yang menjalani perubahan budaya baru. Hal ini juga terjadi pada saat banyaknya masyarakat pendatang dari luar Tarutung yang masuk ke Tarutung. Para pendatang ini umumnya adalah orang-orang Minangkabau dan Jawa yang mulai banyak berdatangan sekitar tahun 1960-an. Para pendatang ini dari segi budaya dan agama sangat berbeda dengan orang-orang Batak di Tarutung. Dari pendatang inilah muncul komunitas Islam di Tarutung. Mereka membawa kebudayaan dan agama dari tempat asal mereka dan tetap menjalankannya di wilayah Tarutung.
Pada awalnya Islam di Tarutung juga ada orang Batak Toba sendiri yang sudah menjadi Islam jauh sebelum para pendatang suku Minangkabau dan Jawa datang ke Tarutung. Jika ditinjau secara garis besar kota Tarutung adalah kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Bahkan pusat gereja HKBP di Asia Tenggara juga berada di kota ini. Kota Tarutung juga disebut sebagai kota Wisata Rohani dengan salib Kasih sebagai monumen kebanggaannya, namun di sini dapat pula ditemukan adanya masyarakat Islam.
Sebelumnya masyarakat Islam yang ada di Tarutung banyak berasal dari daerah-daerah Tapanuli Selatan, yang juga pengaruh dari Minangkabau. Secara lambat laun Islam juga berkembang di wilayah Silindung khususnya di kota Tarutung. Islam yang masuk merupakan pengaruh dari pasukan Paderi yang datang ke Tapanuli dengan niatan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Batak. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil dengan baik, tetapi tetap saja meninggalkan jejak Islam di Silindung khususnya Tarutung dan sekitarnya terutama daerah Pahae yang cukup dekat letaknya dengan Tarutung.
Kota yang dahulunya sebagai ibu kota pemerintahan Afdeling Batak Landen, yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi kini Islam dapat berkembang secara berdampingan dengan agama Kristen di kota ini. Suatu hal yang menarik, sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu Kristen dan Islam.
Adapun tentang Islam di Tanah Batak khususnya di Tarutung mempunyai sejarah panjang. Agama Islam telah menyebar dengan cepat sekali ke seluruh Tapanuli Selatan setelah kekalahan kaum Paderi. Meskipun invasi Islam di sana sebelumnya mengalami kegagalan, namun para pemimpin Mandailing menganggap bahwa agama asli mereka itu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga mereka kemudian menganut agama Islam dan mengikuti serta mencontoh unsur-unsur budaya Melayu-Islam lainnya. Sementara ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Pada waktu itu belum ada misionaris, apalagi sangat sulit bagi Belanda untuk ikut aktif dalam menyebarkan agama Kristen, sebab tindakan demikian akan sangat membahayakan seluruh strategi pemerintah kolonial Belanda yang sangat mengharapkan dukungan dan bantuan golongan “hitam” ( Muslim anti-Paderi dan pro-adat) di Sumatera Barat. Maka sejak sekitar tahun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses Islamisasi.
Di kalangan orang-orang Belanda yang anti Islam dengan sebagian didasari oleh pertimbangan imperialis dan sebagian lagi oleh pertimbangan kemajemukan nasional menyatakan “orang Batak sangat terbuka pada peradaban”, seperti terlihat pada orang Mandailing yang tidak hanya menerima Islam, tetapi juga sama beradabnya dengan para tetangga mereka yang muslim, bahkan sekarang telah melampaui orang Melayu (maksudnya orang Minangkabau). Orang Batak menganggap kita sebagai sekutunya, sehingga kita juga harus memperlakukan mereka layaknya sekutu. Perkembangan agama Kristen di Tanah Batak sejalan dengan penguasaan Belanda atas wilayah ini menyusul didirikannya sekolah-sekolah. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah gubernemen atau sekolah Melayu di Tanah Batak bagian selatan hanya di kota-kota agak besar seperti Padangsidempuan, Batunadua, Hutapadang, Angkola, Natal, Hutagodang, Kotanopan, Panyabungan, Siabu, Tanobato, Maga, Gunungtua, Sibuhuan, Sipirok, Bungabondar, Baringin, Batangtoru, Sibolga, Barus, Singkil, dan lain-lain. Berbeda dengan Zending, mendirikan sekolah hampir di setiap negeri atau kampung, yaitu di mana ada guru di situ ada sekolah Zending.
Masuknya Agama Islam
Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.
Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekera san senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. [7]
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.
Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding – satu lawan satu sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.
Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas ditangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar yang datang bersama pasukan Paderi, dibawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao) memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.[8]
Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir. Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah An gkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing. Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan.
Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.
Kronologi Islam di Tanah Batak
Berikut adalah angka tahun Islam di tanah Batak. Yang meliputi tanah Batak pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak atau Batak utara, Barus, Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo, Simalungun, Karo dan kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke hilir sungainya di sumatera bagian timur.
633-661
Disinyalir pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan itu masih sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin hubungan kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah lainnya. Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan mengenai kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan sumatera lainnya yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.
661-750
Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara intens di masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untuk misi dagang tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak, khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan kepada penduduk setempat melalui medium non-formal.

718-726
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.[9]
730
Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari pedagang Cina yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana. Kerajaan-kerajaan buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang sangat kuat menguasai sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Diyakini orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan ajaran Buddha ke komunitas Batak khusunya yang di Mandailing.
851
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36). Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional di hutan-hutan.
Sekarang ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al Ma’arif 1987). Kehidupan yang mapan itu pula memungkinkan mereka untuk hidup secara permanen di kawasan ini yang sudah pasti didukung oleh sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar mereka tidak tertinggal dengan pesaing lainnya.
Sebagai pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan pendidikan tertua bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus merupakan wilayah Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari pedalaman yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah dirintis rapi oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan dan membeli produk jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an, madrasah-madrasah tradisional Barus masih menjadi primadona tujuan pendidikan di tanah Batak sebelum akhirnya digantikan oleh Mandailing dengan pesantren-pesantrennya yang sudah modern.
Masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di sentral Batak masih menganut agama asli Batak. Kelompok Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
900
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
Sambil berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga Hutagalung, Pasaribu, Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan majlis pendidikan kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih berlangsung sampai era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain sebagainya. Di daerah Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan Islam adalah kalangan Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara cuma-cuma dan gratis ini bisa diartikan sebagai taktik dagang untuk mendekatkan mereka dengan penduduk setempat.
976-1168
Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.
1128-1204
Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo pernah direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil. Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem pendidikan yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di Barus dan daerah Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk gigi. Khususnya mereka kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab, India dan Persia. Namun penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya sementara. Di Barus kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa tunggal menjadi kesultanan Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini mempunyai aliansi yang kuat dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.
Kerajaan Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan pesisir Sumatera bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak hegemoninya. Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam dengan penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan Hatorusan ini muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan Barus Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai Sultan Barus Hulu.
Persaingan politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini sering berpecah. Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih dekat kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan yang saling berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik pada saat mereka Islam maupun Buddha dan Hindu
.Kalangan intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus. Ekspor kapur barus meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan. Barus menjadi rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.
Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya adalah orang-orang Pakpak dan Toba (Associate Prof. Dr Helmut Lukas, Bangkok 2003).
1275-1292
Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi Pamalayu kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang didukung oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar Kalipah dan lain-lain.
1285-1522
Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak ke permukaan dengan raja pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas puing-puing kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang Batak Karo.
Uniknya, kesultanan ini telah memakai paham syafii yang menjadi kompetitor terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik dan budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii mulai masuk ke tanah Batak.
Kesultanan Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai kesultanan Aceh karena secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun sebagai sebuah kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur, posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan pendidikan di tanah Batak.
Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.
1331-1364
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara, tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak Aceh. Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat.

1345
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112).
1450-1515
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk tanah batak.


1451
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Dominasi pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung menjadi komunitas Islam syiah di pedalaman Batak.
Abad 15-16
Barus dengan kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan Dinasti Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem pendidikan yang modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul di era ini. Beberapa tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi kota tujuan utama musafir asing.
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedaganga asing.[10]
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera.








BAB IV
KESIMPULAN
Surat atau Tulisan Batak
            Tulisan Batak adalah tulisan yang ada di bangsa yang Multikultural ini. tulisan Batak yang telah menghasilkan aksara yang menakjubkan, terbuat dari kulit kayu yang di lipat-lipat, berisi aksara yang khas dan gambar magis yang agak sukar untuk di mengerti.
            Tulisan Aksara ini sudah hampir punah, buku kulit kayu (pustaha), juga bambu dan tulang beraksara, kini menjadi barang perpustakan dan museum dan kebanyakan di luar negeri. Ini memperingatkan kita untuk selalu menjaga dan melestarikan sejarah leluhur kita walaupun sedikit bertentangan dengan ajaran agama dan keyakinan kita sendiri. Dengan cara itu kita dapat mengerti sejarah kehidupan kita pribadi lepas pribadi.
Religi Batak
            Orang Batak percaya bahwa mereka adalah keturunan debata Mulajadi Nabolon (dewata) melalui Si Raja Batak sebagai manusia pertama. Ritus adalah praktik religi. Dalam ritus batak kita banyak menemukan simbol-simbol yang memberi gamabaran tentang struktur pemikiran Batak mengenai kehidupan mereka.
            Salah satu bagian penting dalam ritus Batak ialah doa(Tonggo) baik dengan maupun tanpa persembahan. Religi tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang statis dan tertutup dalam dirinya sendiri. Melalui sejarah orang batak kita sudah melihat bahwa religi mereka berubah secara dinamis dan terbuka kepada unsur-unsur baru.
            Dengan adanya keterbukaan di wilayah Batak itu sendiri berdampak dengan munculnya kebudayaan baru. Seperti masuknya kekristenan dan pengaruh islam di tanah Batak, mengakibatkan wilayah ini menjadi spesial karna adanya berbagai sub suku Batak dan perbedaan kepercayaannya. Walaupun dengan perbedaan itu tanah Batak tetaplah tanah yang rukun yang cinta akan kedamaian antar sesama. Batak tetaplah suku yang spesial, keras, tegas dan bijaksana. Di muka bangsa yang multikultural ini.
            Disini penulis berterimakasih kepada semua pihak yang membant penulis, dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang selalu memberi kekuatan dan kesehatan dalam menyelesaikan buku ini. Berhubung karena penulis sendiri adalah batak asli, maka hendaknya menyampaikan pepatah Batak yang sangat khas, yakni:
Sititi ma Sigompa
Golang golang pangarahutna
Tung so sadia pe pinatupa
Sai godang ma pinasuna
 Horassss..........!!!!!!!!!!!!








DAFTAR PUSTAKA
Ager, Simon. 1998. Batak Alphabet. [online] 
              Hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia”  Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan 20 Appril 2014
              Kozok, Uli. 1999. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: KPG
              Kozok, Uli. Sejarah perkembangan tulisan batak, penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2009.
              Kozok, Uli. Utusan Damai di Kemelut Perang. Peran Zending dalam Perang Toba berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, École française d’Extrême-Orient.
              Kartodirjo, sartono 2014. Pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari masa emporium hingga imperium. Yogyakarta: penerbit ombak
              McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
              Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. Seratus Tahun Kekristenan Dalam Sejarah Rakyat Rakyat Batak. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum.
              Supriadi Wawan. 2010. Mengenal Aksara Batak. [online]
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/,
              Simanjuntak, Bungaran.A, Prof. Dr. Pemikiran Tentang Batak, penerbit: Yayasan Pustakan Obor Indonesia, Jakarta 2011.
              Yushar, 2014. “Sejarah indonesia”. Medan: unimed press.
             






[1] McGlynn, John H McGlynn, dkk. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.

[2] Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: KPG, 1999.

[3] Supriadi Wawan. 2010. Mengenal Aksara Batak. [online] http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/, februari 2010.

[4] Simon Ager, 1998. Batak alphabet. [online] http://www.omniglot.com/writing/batak.htm. februari 2010.

[5] “Mengenal Aksara Bata”[online]

[7] Lihat Yushar, sejarah indonesa (penerbit: unimed press), hlm 104
[8] Lihat sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium, hlm 437
[9] Lihat hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia”  Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan 20 Appril 2014

[10]Lihat Hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia”  Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan 20 Appril 2014