Oleh: Agum Patria Silaban
Tanggal
18 September 2016, tepat pukul 07.00 WIB. Alarm jam tangan berusaha
membangunkanku dari tidurku. Tidur yang ditemani buaian mimpi yang kian
membuatku bertanya-tanya. Bagiku inilah mimpi yang paling aneh yang pernah kualami
selama aku menjalani yang namanya tidur. Dalam mimpi, aku terinspirasi untuk membuat
sebuah tulisan tentang penindasan. Ketika membuat tulisan ini aku teramat
gembira dan senang karena aku bisa menulis sebuah pembelaan terhadap mereka
yang tertindas dan yang mengalami kesengsaraan.
Alarm
berbunyi, aku bangun. Mimpi membuatku kebingungan sendiri, menimbulkan
keresahan dalam hati. Mimpi yang bagaikan menyuruhku untuk menulis tentang
suatu hal. Bagaikan suara tangisan dari dalam kubur yang menuntut untuk keluar
karena dikubur hidup-hidup, menuntut balas dengan keadilan. Aku dan mereka
bertemu dialam bawa sadar kami. Mimpi tersebut menuntunku untuk menuliskan apa
yang menjadi suara mereka dan juga apa yang menjadi suara hatiku.
Aku
melihat modernisasi, globalisasi dan pembangunan dimana-mana bukanlah menjadi
pemicu utama kesengsaraan rakyat. Melainkan aku melihat bahwa ada satu kata
yang tepat dan menjadi kunci utama penindasan dan kesengsaraan rakyat adalah
KETIDAKADILAN. Dari ketidakadilan muncul penindasan, dari penindasan muncul
kesengsaraan. Kegagalan ekonomi, kegagalan politik dan kegagalan Demokrasi
menjadi dalang dibalik semua ini. Hal ini mengindikasikan bahwa wakil-wakil
rakyat tidak kompeten dalam memerintah. Salah satu kegagalan utamanya adalah
tidak meratanya pendidikan, berkembangnya kapitalis. Berkembangnya kapitalis
menjadikan rakyat berada dibawah ancaman penindasan, perampasan lahan,
penggusuran untuk pembangunan dan ketidakadilan, itu merupakan dampak adanya
kapitalis.
Kapitalis
tidak akan mau bertindak apabila tidak mendapatkan untung, apabila tidak
menguras, baik jasa, tenaga dan laba pun terpotong. Aku ingin mencari tahu
lebih dalam lagi tentang penyebab kesengsaraan rakyat yang mencoba mengadu
melalui mimpiku, aku melihat dinegaraku bahwa kami yang pribumi menjadi budak
ditanah sendiri, jauh dari kata merdeka, jauh dari kata the founding father tentang
konsep BERDIKARI. Sungguh miris melihat negeri kehidupan ini. Sebenarnya dari
segala hak manusia, hak manusia bodoh untuk dibimbing oleh yang lebih bijak,
untuk dengan lemah lembut atau dengan kekerasan diluruskan jalannya adalah hak
yang paling tidak terbantahkan. Alam itu sendiri telah menetapkan sejak semula,
masayarakat berjuang kearah kesempurnaan dengan menerapkan hak itu terus
menerus. Jika kemerdekaan itu memiliki arti maka artinya ialah penerapan hak
itu, yang didalam hak itu terletak semua hak hak lain.
Demokrasi
telah menolak tertib alam, Demokrasi yang dijalankan pemerintah tidak sesuai
dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. Aku tak menyalahkan demokrasi tapi
aku menolak prosesnya, bagaimana pemerintah menjalankannya. Pemerintah
menjadikan rakyat indonesia menjadi penghayal bukan pemikir, rakyat-rakyat
tertindas menghayalkan akan hadirnya ratu adil, gatot kaca, mesias yang menjadi
penyelamat yang suatu saat akan datang. Ini merupakan salah satu kegagalan
pemerintah yang disukai kapitalis, rakyat tidak lagi berpikir melainkan penghayal/onani.
Pemerintah kebanyakan larut dalam perpolitikan negara yang tak kunjung usai,
politik pembodohan, politik yang membuat lupa pemerintah akan tugas yang
sebenarnya. Kapan majunya, kapan sejahteranya? Mari berbenah negeriku!
“Berilah
aku seorang pemimpin, seorang pemimpin sejati, bukan pemimpin palsu dan juga
bukan harapan palsu, seseorang yang bisa memimpin ku kejalan yang benar, supaya
boleh aku bersumpah setia kepada negeriku.”