Selasa, 27 September 2016

Ditimpa Mimpi



Oleh: Agum Patria Silaban
Tanggal 18 September 2016, tepat pukul 07.00 WIB. Alarm jam tangan berusaha membangunkanku dari tidurku. Tidur yang ditemani buaian mimpi yang kian membuatku bertanya-tanya. Bagiku inilah mimpi yang paling aneh yang pernah kualami selama aku menjalani yang namanya tidur. Dalam mimpi, aku terinspirasi untuk membuat sebuah tulisan tentang penindasan. Ketika membuat tulisan ini aku teramat gembira dan senang karena aku bisa menulis sebuah pembelaan terhadap mereka yang tertindas dan yang mengalami kesengsaraan.
Alarm berbunyi, aku bangun. Mimpi membuatku kebingungan sendiri, menimbulkan keresahan dalam hati. Mimpi yang bagaikan menyuruhku untuk menulis tentang suatu hal. Bagaikan suara tangisan dari dalam kubur yang menuntut untuk keluar karena dikubur hidup-hidup, menuntut balas dengan keadilan. Aku dan mereka bertemu dialam bawa sadar kami. Mimpi tersebut menuntunku untuk menuliskan apa yang menjadi suara mereka dan juga apa yang menjadi suara hatiku.
Aku melihat modernisasi, globalisasi dan pembangunan dimana-mana bukanlah menjadi pemicu utama kesengsaraan rakyat. Melainkan aku melihat bahwa ada satu kata yang tepat dan menjadi kunci utama penindasan dan kesengsaraan rakyat adalah KETIDAKADILAN. Dari ketidakadilan muncul penindasan, dari penindasan muncul kesengsaraan. Kegagalan ekonomi, kegagalan politik dan kegagalan Demokrasi menjadi dalang dibalik semua ini. Hal ini mengindikasikan bahwa wakil-wakil rakyat tidak kompeten dalam memerintah. Salah satu kegagalan utamanya adalah tidak meratanya pendidikan, berkembangnya kapitalis. Berkembangnya kapitalis menjadikan rakyat berada dibawah ancaman penindasan, perampasan lahan, penggusuran untuk pembangunan dan ketidakadilan, itu merupakan dampak adanya kapitalis.
Kapitalis tidak akan mau bertindak apabila tidak mendapatkan untung, apabila tidak menguras, baik jasa, tenaga dan laba pun terpotong. Aku ingin mencari tahu lebih dalam lagi tentang penyebab kesengsaraan rakyat yang mencoba mengadu melalui mimpiku, aku melihat dinegaraku bahwa kami yang pribumi menjadi budak ditanah sendiri, jauh dari kata merdeka, jauh dari kata the founding father tentang konsep BERDIKARI. Sungguh miris melihat negeri kehidupan ini. Sebenarnya dari segala hak manusia, hak manusia bodoh untuk dibimbing oleh yang lebih bijak, untuk dengan lemah lembut atau dengan kekerasan diluruskan jalannya adalah hak yang paling tidak terbantahkan. Alam itu sendiri telah menetapkan sejak semula, masayarakat berjuang kearah kesempurnaan dengan menerapkan hak itu terus menerus. Jika kemerdekaan itu memiliki arti maka artinya ialah penerapan hak itu, yang didalam hak itu terletak semua hak hak lain.
Demokrasi telah menolak tertib alam, Demokrasi yang dijalankan pemerintah tidak sesuai dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. Aku tak menyalahkan demokrasi tapi aku menolak prosesnya, bagaimana pemerintah menjalankannya. Pemerintah menjadikan rakyat indonesia menjadi penghayal bukan pemikir, rakyat-rakyat tertindas menghayalkan akan hadirnya ratu adil, gatot kaca, mesias yang menjadi penyelamat yang suatu saat akan datang. Ini merupakan salah satu kegagalan pemerintah yang disukai kapitalis, rakyat tidak lagi berpikir melainkan penghayal/onani. Pemerintah kebanyakan larut dalam perpolitikan negara yang tak kunjung usai, politik pembodohan, politik yang membuat lupa pemerintah akan tugas yang sebenarnya. Kapan majunya, kapan sejahteranya? Mari berbenah negeriku!
“Berilah aku seorang pemimpin, seorang pemimpin sejati, bukan pemimpin palsu dan juga bukan harapan palsu, seseorang yang bisa memimpin ku kejalan yang benar, supaya boleh aku bersumpah setia kepada negeriku.”

Realita Sekolah



Oleh: Agum Patria Silaban[1]
Sekolah adalah tempat dimana orangtua menitipkanku. Adalah tempat dimana aku mengisi waktu luangku untuk belajar berbudi pekerti dan berestetika. Sekolah merupakan tempat dimana aku berkreasi dan mengembangkan bakat atau talenta yang telah diberikan yang Mahakuasa kepadaku. Sekolah menjadi tempat dimana aku menumpas ketidaktahuan menjadi tahu.
Dulu sekolah menjadi salah satu tempat idaman bagiku. SD, SMP dan SMA, adalah tahap-tahap yang harus kulalui. Aku menganggap sekolah adalah segalanya.aku berpikir tanpa sekolah aku tidak akan jadi apa-apa. Aku akan malu pada diriku, pada mereka dan pada semua orang, andai kata aku tidak sekolah. Teman dan kalangan masyarakat akan memarginalkanku, aku dicap bodoh atau si oto-oto. Aku tidak akan memiliki teman, karena orang tua mereka akan berkata, “jangan temani dia, dia tak sekolah, dia bodoh, nanti kamu akan seperti dia jika kamu berteman dengannya”. Adalah pernyataan yang sering aku dengar dikalangan masyarakat desa yang mampu menyekolahkan anaknya. Terkadang hala seperti ini yang membuat hati miris dan tersayat-tersayat melihat mereka yang tak sekolah (tidak sekolah karena tidak mampu, karena malas dan lain sebagainya). Ejekan dari kalangan masayarakat akan datang silih berganti kepada mereka yang tak sekolah. Bahkan kalau dikampungku mereka itu dibutuhkan hanya sebagai pekerja (pangurupi mangula). Setelah itu mereka akan tetap dikucilkan.
Apakah yang dimaksud dengan sekolah? Bagaimana perspektif masayarakat terhadap sekolah dewasa ini? Setelah aku menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri, aku banyak belajar masalah-masalah sosial dikalangan masyarakat dan terkhusus dikalangan pendidikan maupun sekolah. Jumat, 23 September 2016, kami kelompok studi BARSdem melakukan diskusi beda buku dari Roem Tomatipasang berjudul Sekolah Itu Candu. Dalam bukunya menyatakan bahwa sekolah berasal dari bahasa Latin: Skhole, scola/skhola. Yang artinya waktu luang atau waktu senggang. Aku melihat bahwa fungsi sekolah dulu dan sekarang itu berbeda dalam proses pelaksanaan. Sekolah pada masa dulu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika yang didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri dunianya.
Aku juga melihat sekolah saat ini berubah arti menjadi sebuah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Berubahnya sekolah menjadi sebuah lembaga sangat memiliki dampak kepada khalayak banyak, terkhusus buat anak dan pemuda serta keluarga yang tidak sanggup menyekolahkan anak. Karena adanya lembaga ini, tentunya membutuhkan biaya, biaya yang semakin lama, semakin melonjak tinggi atau mahal. Berubahnya sekolah menjadi lembaga sangat berpengaruh terhadap proses pelaksanaannya. Dimana lembaga dan pemerintah sepakat untuk mengadakan penormalan didunia pendidikan. Berlakunya ijazah untuk mencari pekerjaan. Mari kita lihat saat ini, adanya penormalan, orang-orang mampu akan kejar-kejaran untuk meraih pendidikan tinggi dan meraka yang tidak mampu akan kemana??? Orang mampu tanpa sekolah pun bisa membeli ijazah. Ini adalah realita yang aku lihat dan ini merupakan dampak dari penoramalan dan melencengnya penerapan sistem pendidikan oleh lembaga pendidikan.
Sekolah bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, bobroknya pendidikan sekolah saat ini. Sudah bobrok, tidak merata pulak lagi. Bagiku sekolah adalah penyakit sosial yang sudah mendarah daging dikalangan masyarakat. Masyarakat telah terkungkung oleh sistem yang melakukan penormalan hukum terhadap sekolah. Menimbulkan stigma dikalangan masyarakat bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan menuju sukses karena tanpa sekolah tidak akan mendapatkan ijazah untuk melamar pekerjaan.
Ketika aku menjadi seorang mahasiwa. Timbul lagi perspektif dikalangan masyarakat, mereka menganggap aku adalah orang pintar, intelektual dan cikal-bakal orang sukses. Ketika aku dikampung dan dikota maka identitasku akan berbeda. Setelah aku jauh keluar, jauh berjalan dan sejauh mata memandang. Kian banyak dirasa. Aku banyak disadarkan oleh bacaan-bacaan yang aku miliki. Selama ini aku sekolah, namun sekolah yang seperti apa yang kujalani?
Pemerintah mewajibkan sekolah sembilan atau sekarang menjadi dua belas tahun. Apakah itu solusi yang baik? wajib sarjana menjadi penentu? Banyak perubahan sistem yang dilakukan oleh mereka yang merusak pengertian dan makna sekolah. Aku melihat sekolah sudah jauh dari makna yang sebenarnya, sekolah bukan lagi waktu luang untuk belajar, berkreasi sesuai budi pekerti yang dimiliki. sekolah telah dinormalkan oleh sistem dan menjadi sebuah keharusan untuk menumpas kebodohan. Salut jikalau sekolah menumpas kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun bagaimana realita yang sesungguhnya? Aku ingin lembaga pendidikan kembali keasalnya yakni sekolah yang sesungguhnya. Sekolah pada masa dulu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika yang didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri DUNIANYA tanpa penormalan. Maka dari itu seluruh masayarakat kan merasakan pendidikan, pendidikan akan merata dengan baik.
            Dulu waktu aku ujian masuk perguruan tinggi. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh panitia, yang notabene panitianya adalah Mahasiswa dari universitas-universitas ternama. Aku lulus di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan. Aku bertanya dalam hati, mengapa harus ujian? Kalau ujian pasti ada yang tak lulus dong. Aku menyadari bahwa ternyata pemerintah tidak sanggup menampung seluruh pemuda/i penerus bangsa di perguruan tinggi negeri. Baik diperguruan tinggi swasta pun pasti terbatas. Mereka yang tidak lulus baik swasta maupun negeri, kemana?
Banyak kurasakan selama aku kuliah, aku juga melihat hirarki-hiraki di perguruan tinggi yang menimbulkan adanya politik identitas. Pemanfaatan identitas, untuk menguras, menindas dan berkuasa. Ini bukanlah sekolah yang kuinginkan dan bukanlah sekolah yang kubayangkan. Ada pertanyaan yang membuatku bingung dan juga merasa bodoh, yakni “Apakah aku BODOH, jika tidak membuat karya ilmiah?
Semua pertanyaan diatas menjadi PR tersendiri bagi pembaca yang merasa sadar akan identitasnya dan PR khusus buat sistem yang mengatur sistem pendidikan sekolah saat ini. Sekolah seperti apa yang kita jalani saat ini? Apakah mencerdaskan kehidupan bangsa? Kalau ia, mengapa ada yang tidak sekolah?
“Sekolah bukanlah satu-satunya alat untuk menuju apa yang kita mau, tetapi sekolah hanya bisa sedikit memberi jalan menuju apa yang kita inginkan”


[1] Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNIMED Medan. Terinspirasi dari buku Roem Topatimasang “sekolah itu candu”. Aktif di Kelompok Studi BARSDem dan Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Protestan, FIS, UNIMED.