Oleh: Agum Patria Silaban
Sekolah
adalah tempat dimana orangtua menitipkanku. Adalah tempat dimana aku mengisi
waktu luangku untuk belajar berbudi pekerti dan berestetika. Sekolah merupakan
tempat dimana aku berkreasi dan mengembangkan bakat atau talenta yang telah
diberikan yang Mahakuasa kepadaku. Sekolah menjadi tempat dimana aku menumpas
ketidaktahuan menjadi tahu.
Dulu
sekolah menjadi salah satu tempat idaman bagiku. SD, SMP dan SMA, adalah
tahap-tahap yang harus kulalui. Aku menganggap sekolah adalah segalanya.aku
berpikir tanpa sekolah aku tidak akan jadi apa-apa. Aku akan malu pada diriku,
pada mereka dan pada semua orang, andai kata aku tidak sekolah. Teman dan
kalangan masyarakat akan memarginalkanku, aku dicap bodoh atau si oto-oto. Aku
tidak akan memiliki teman, karena orang tua mereka akan berkata, “jangan temani
dia, dia tak sekolah, dia bodoh, nanti kamu akan seperti dia jika kamu berteman
dengannya”. Adalah pernyataan yang sering aku dengar dikalangan masyarakat desa
yang mampu menyekolahkan anaknya. Terkadang hala seperti ini yang membuat hati
miris dan tersayat-tersayat melihat mereka yang tak sekolah (tidak sekolah
karena tidak mampu, karena malas dan lain sebagainya). Ejekan dari kalangan
masayarakat akan datang silih berganti kepada mereka yang tak sekolah. Bahkan
kalau dikampungku mereka itu dibutuhkan hanya sebagai pekerja (pangurupi
mangula). Setelah itu mereka akan tetap dikucilkan.
Apakah
yang dimaksud dengan sekolah? Bagaimana perspektif masayarakat terhadap sekolah
dewasa ini? Setelah aku menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi
negeri, aku banyak belajar masalah-masalah sosial dikalangan masyarakat dan
terkhusus dikalangan pendidikan maupun sekolah. Jumat, 23 September 2016, kami
kelompok studi BARSdem melakukan diskusi beda buku dari Roem Tomatipasang
berjudul Sekolah Itu Candu. Dalam bukunya menyatakan bahwa sekolah berasal dari
bahasa Latin: Skhole, scola/skhola. Yang artinya waktu luang atau waktu
senggang. Aku melihat bahwa fungsi sekolah dulu dan sekarang itu berbeda dalam
proses pelaksanaan. Sekolah pada masa dulu adalah mempelajari cara berhitung,
cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika yang didampingi oleh orang
ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan
sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri dunianya.
Aku
juga melihat sekolah saat ini berubah arti menjadi sebuah lembaga untuk belajar
dan mengajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Berubahnya sekolah
menjadi sebuah lembaga sangat memiliki dampak kepada khalayak banyak, terkhusus
buat anak dan pemuda serta keluarga yang tidak sanggup menyekolahkan anak.
Karena adanya lembaga ini, tentunya membutuhkan biaya, biaya yang semakin lama,
semakin melonjak tinggi atau mahal. Berubahnya sekolah menjadi lembaga sangat
berpengaruh terhadap proses pelaksanaannya. Dimana lembaga dan pemerintah
sepakat untuk mengadakan penormalan didunia pendidikan. Berlakunya ijazah untuk
mencari pekerjaan. Mari kita lihat saat ini, adanya penormalan, orang-orang
mampu akan kejar-kejaran untuk meraih pendidikan tinggi dan meraka yang tidak
mampu akan kemana??? Orang mampu tanpa sekolah pun bisa membeli ijazah. Ini
adalah realita yang aku lihat dan ini merupakan dampak dari penoramalan dan
melencengnya penerapan sistem pendidikan oleh lembaga pendidikan.
Sekolah
bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, bobroknya pendidikan sekolah saat
ini. Sudah bobrok, tidak merata pulak lagi. Bagiku sekolah adalah penyakit
sosial yang sudah mendarah daging dikalangan masyarakat. Masyarakat telah
terkungkung oleh sistem yang melakukan penormalan hukum terhadap sekolah.
Menimbulkan stigma dikalangan masyarakat bahwa sekolah adalah satu-satunya
jalan menuju sukses karena tanpa sekolah tidak akan mendapatkan ijazah untuk
melamar pekerjaan.
Ketika
aku menjadi seorang mahasiwa. Timbul lagi perspektif dikalangan masyarakat,
mereka menganggap aku adalah orang pintar, intelektual dan cikal-bakal orang
sukses. Ketika aku dikampung dan dikota maka identitasku akan berbeda. Setelah
aku jauh keluar, jauh berjalan dan sejauh mata memandang. Kian banyak dirasa. Aku
banyak disadarkan oleh bacaan-bacaan yang aku miliki. Selama ini aku sekolah,
namun sekolah yang seperti apa yang kujalani?
Pemerintah
mewajibkan sekolah sembilan atau sekarang menjadi dua belas tahun. Apakah itu
solusi yang baik? wajib sarjana menjadi penentu? Banyak perubahan sistem yang
dilakukan oleh mereka yang merusak pengertian dan makna sekolah. Aku melihat
sekolah sudah jauh dari makna yang sebenarnya, sekolah bukan lagi waktu luang
untuk belajar, berkreasi sesuai budi pekerti yang dimiliki. sekolah telah
dinormalkan oleh sistem dan menjadi sebuah keharusan untuk menumpas kebodohan.
Salut jikalau sekolah menumpas kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun bagaimana realita yang sesungguhnya? Aku ingin lembaga pendidikan kembali
keasalnya yakni sekolah yang sesungguhnya. Sekolah pada masa dulu adalah
mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika
yang didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga
memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri
DUNIANYA tanpa penormalan. Maka dari itu seluruh masayarakat kan merasakan
pendidikan, pendidikan akan merata dengan baik.
Dulu
waktu aku ujian masuk perguruan tinggi. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
dibuat oleh panitia, yang notabene panitianya adalah Mahasiswa dari
universitas-universitas ternama. Aku lulus di Jurusan Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Medan. Aku bertanya dalam hati, mengapa harus ujian? Kalau
ujian pasti ada yang tak lulus dong. Aku menyadari bahwa ternyata pemerintah
tidak sanggup menampung seluruh pemuda/i penerus bangsa di perguruan tinggi
negeri. Baik diperguruan tinggi swasta pun pasti terbatas. Mereka yang tidak
lulus baik swasta maupun negeri, kemana?
Banyak
kurasakan selama aku kuliah, aku juga melihat hirarki-hiraki di perguruan
tinggi yang menimbulkan adanya politik identitas. Pemanfaatan identitas, untuk
menguras, menindas dan berkuasa. Ini bukanlah sekolah yang kuinginkan dan
bukanlah sekolah yang kubayangkan. Ada pertanyaan yang membuatku bingung dan
juga merasa bodoh, yakni “Apakah aku BODOH, jika tidak membuat karya ilmiah?
Semua
pertanyaan diatas menjadi PR tersendiri bagi pembaca yang merasa sadar akan
identitasnya dan PR khusus buat sistem yang mengatur sistem pendidikan sekolah
saat ini. Sekolah seperti apa yang kita jalani saat ini? Apakah mencerdaskan
kehidupan bangsa? Kalau ia, mengapa ada yang tidak sekolah?
“Sekolah
bukanlah satu-satunya alat untuk menuju apa yang kita mau, tetapi sekolah hanya
bisa sedikit memberi jalan menuju apa yang kita inginkan”