Minggu, 02 Oktober 2016

Musim Penghujan



Oleh: Agum Patria Silaban[1]
Kekasih... masihkah kelabu menyelimuti langit jiwamu?
“Saat ini, secara perlahan angin telah membawanya pergi. Ia menjadi berwarna laksana percikan pelangi, nikmatilah walau dengan sedikit rasa.”
Berdiamlah sejenak sayangku,  dekatkan hatimu pada-Nya. Niscaya ketenangan dan hangatnya kedamaian menyelimuti relung jiwamu. 
hmmm...
Dengan kata aku menghibur, dengan hati aku tulus  dan dengan perbuatan aku bertindak.
Senyumlah jiwaku,,,
Rasakan nikmatnya angin malam menerpa jiwa-jiwa yang kesepian. Bersama rintik hujan, dengan kehalusan jatuh menyentuh hati yang gersang oleh duka.
“kalau-kalau dia tidak datang? Dia kemana?”
Dulu kau ingatkan aku; “aku berulang dia datang lagi, menepis kelamnya malam bersama angin kesejukan adalah bukti berkah dan cinta-Nya dan kau tau itu. Aku tau kau merasa damai akan datangnya hujan yg setia. hujan dan angin malam pelepas dahaga. Semoga aku dan kau bertahan dan bertambah kesyukuran atas rahmat-Nya”.
Image result for musim hujan
engkau bilangg, “syukurlah ia datang, walau sebentar aku tidak menyadari dia hadir, menemani diatas ketidaktahuanmu.  karena kamu telah lelap dengan tidur kelabumu”
Mari sayangku, bangunlah. Mendungnya hatimu membuatmu tidak merasakan bahwa berkat datang menghujani kelamnya bumi.
Menghadaplah pada-Nya,
Dialah sumber suka dan dukamu. Kembalilah kepelukan-Nya. Hangat-Nya akan membinasakan beban dan keresaham jiwamu. Hangat-Nya akan menjawab kegelisahan atas pertanyaan-pertanyaan sanubarimu.
Percayalah sayangku,
Sendu tak akan kembali untuk merongrong langit-langit jiwamu. Niscaya bunga tak lagi satu warna, bunga-bunga kian tumbuh mekar berbunga dan aku menyebutnya penuh warna-warni. Inilah kebahagiaan yang dititipkan oleh-Nya kepadamu. Kelestarian, bahagia kekal selamanya.
“perkataan apakah yang layak terucap dari mulutku? kata kata itu membautku mulutku tak mampu berucap”
Sesingkat dan sepanjang apapun kata yang kau lantunkan kepadaku, internalku tidak berpengaruh terhadap rasa yang telah tertanam oleh bibit bunga yang sudah mekar. Katakanlah apa yang selayaknya kau katakan kepadaku, selayaknya kepada meraka dan selayaknya kepada Tuhanmu.
“Semoga engkau mendapat kebaikan”
Duhaiii  kekasihku,
Sudah terlalu banyak dosa yang kubawa dari masa lalu, masa lalu yang begitu hitam. Aku tidak berharap kebaikan datang kembali kepada ku. Penyesalanlah yang menaungi keseharianku.  Syukur Dia masih mengijinkan ku untuk tetap menjalani kehidupan. Aku berharap Dia mendengar pengakuanku. Ucapan beribu syukur sudah selayaknya terucap dari mulut kotor nanbusuk ini.

Kekasihku,
Istrahatlah, berilah apa yang menjadi bagian dan hak tubuhmu.
aku bermimpi, “aku menjagamu malam ini, tanpa kau tau bahwa aku menemani lelapnmu."

Ternyata hanya lamunan saja,
nyatanya, Disini aku masih berdiskusi dengan malan dan hujan, adakah kita yang tau berapa lama perjalanan hujan dari langit menempuh tanah dimana kita berpijak saat ini?


[1] Penulis adalah pengagum hujan dan angin malam (kupersembahkan untuknya)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Dialektika Cinta



Oleh: Agum Silaban dan Iskandar girsang[1]
Pada tanggal 01 Oktober 2016, aku berdiskusi banyak hal bersama kawan Iskandar (biasa dipanggil Seorang Pemuda Biasa) dan kawan Robby (biasa di di panggil Lelaki yang Bertas Merah itu). Adalah sebuah hal yang lazim bagi kaum muda membicarakan atau mendiskusikan tentang lawan jenis, yang membuat pria jomblo begitu gelisah dan bertanya-tanya dengan kebingungan mereka sendiri. Kami adalah bukti dari 3 diantara 10 orang jomblo ngenes tersebut. Secara empiris kami banyak merasakan bagaimana suasana dan kegelisahan hati ketika berhadapan dengan lawan jenis yang membuat kami kocar-kacir dalam bertingkah dan hal itu secara tidak langsung membuat kami berpikir tidak teratur dan daya otak kami hilang lenyap ditelan detak jantung yang kian cepat mengetuk palung dari dasar samudera merah dalam tubuh kami.
Berdiskusi bersama kedua kawan karib yang sering kuajak dan diajak berdiskusi sama ini,  adalah jomblo-jomblo yang tangguh, dari zaman firaun baholak sampai malam ini belum pernah merasakan apa yang namanya pacaran, sungguh miris. nah, sedang aku adalah Pria Linglung yang tak kunjung usai dengan masalah pergumulan cinta yang kerap melanda hatiku. Aku sudah mengalami yang namanya pacaran, tidak seperti kawanku diatas. Walau begitu,  aku tak menganggap bahwa diriku lebih mengetahui apa itu namanya cinta, buktinya aku selalu gagal dalam percintaanku. Dan aku sendiri telah menjadi jomblo sekitar beberapa bulan yang lalu.  Aku menyadari bahwa aku adalah pria yang tidak layak untuk diperjuangkan, karena pacaran membuatku selalu terjatuh didalam  pencobaan.
Pacaran berkali-kali membuktikan bahwa,  aku tidak pernah mengerti apa yang namanya Suka, Sayang, nafsu dan Cinta, aku kerap jatuh dilubang yang sama. Kegelisahan ini menuntunku untuk mendiskusikan kepada kawan Pemuda Biasa(Iskandar) dan kawan Lelaki Bertas Merah Itu (Robby) dengan identifikasi masalah-masalah cinta yang kami hadapi, yakni suka, sayang dan cinta? Bagaimana ia datang? Apakah cinta itu materi atau ide?
Aku tahu cinta ruang lingkupnya begitu banyak, namun dalam diskusi kami memfokuskan diskusi pada Objek lawan jenis atau bahasa moderennya menyangkut pasangan hidup. Banyak pakar-pakar mengemukakan banyak teori mereka tentang cinta. Namun, toeri-teori tersebut tak kunjung memuaskan rasa penasaran kami terhadap satu kata yang dinamakan CINTA. Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah perasaan ketertarikan kita pada seseorang yang mebuat kita terppikir-pikir dan tidak ingin meninggalkannya selamanya. Mungkin ini adalah hal yang sering dan bahkkan wajar kita rasakan dimasa-masa pertumbuhan kedewasaan kita saat ini.
Panca indra sangat berperan penting dalam pengamatan terhadap objek/materi/lawan jenis. Indera penglihatan menangkap lalu otak menerima materi, diproses, menimbulkan yang namanya ide, yang membuat pikiran selalu memikirkan dan terbayang terhadap materi yang telah datang merasuki ketenangan pikiranku. Aku tak lagi berpikir,  ini sungguh membuatku menghayal. Aku menyadari dan disadarkan oleh kawan-kawan bahwa cinta bukanlah materi dan cinta juga tidak bisa dimaterikan. Membedah cinta dengan berpikir logic juga belum menyelesaikan pergumulan cintaku. Berpikir sedalam-dalamnya (radix) membuat kawan-kawan dan aku tak mampu mendekati gadis pilihan hati kami masing-masing, ini justru membuat kami kehilangan akal sehat dari ketangguhan yang kami miliki selama ini sebagai seorang pria. Salahkah jika cinta datang dari orang yang tidak memiliki simpati kepada kita. Adakah cinta jatuh kepada orang tidak tepat (yang tidak diharapkan). Salahlah bagi mereka yang mengira bahwa cinta itu datang dari pergaulan yang begitu lama dan rayuan yang terus menerus.
Aku kembali disadarkan oleh Kahlil Gibran teorinya tentang cinta mengatakan, "cinta adalah tunas pesona jiwa dan jika tunas ini tercipta dengan sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun bahkan abad.  Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dekaplah walau pedang disela sela sayapnya melukaimu. cinta adalah satu-satunya kebebasan didunia. Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang".

Image result for cinta

Artinya Setiap lelaki mencintai dua orang perempuan, yang pertama adalah imajinasinya dan kedua adalah yang belum dilahirkan. Ketika cinta tumbuh maka rasa ingin memiliki baru tumbuh. Rasa ingin memiliki inilah yang selalu memunculkan masalah, rasa posesif, rasa ego yang paling tinggi, cemburu dan sebagainya. 
Proses terbentuknya cinta adalah dari sistem yang rumit, antara mata, otak dan hati. ketika terjadi pandangan pada mata akan membentuk gambar akan objek yang membuatnya penasaran. Dengan ini gembar telah masuk melalui mata lalu diteruskan ke otak atau daya atau kemampuan berpikir otak. Otak akan memberikan hasil gambaran, seperti senang, kagum dan lain-lain. Namun, pada bagian lain juga akan memberi penilaian pada sisi negatifnya, misalnya: “ah, sepertinya dia kurang baik, suka bohong dan lain sebagainya”. Dan tahap ini memberi lanjutan apakah kita benar-benar mencintainya secara penuh atau sekedar kagum atau kasihan saja. Hal inilah yang memerlukan proses dihati. Di hati terdapat beribu sel saraf yang memungkinkan hati dapat berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Hal inilah yang menentukan bahwa kita cinta atau tidak. Kemudian pikiran itu dikirim lagi ke otak dan memberi perintah apa yang harus dilakukan terhadap lawan jenis tersebut. Artinya adalah cinta itu berdialektika dan penuh pertimbangan.  Cinta harus logic dan berperasaan.  
“cinta bukanlah materi dan cinta juga tidak bisa dimaterikan, cinta hanyalah ide yang dimunculkan oleh materi”


[1] Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNIMED.

Selasa, 27 September 2016

Ditimpa Mimpi



Oleh: Agum Patria Silaban
Tanggal 18 September 2016, tepat pukul 07.00 WIB. Alarm jam tangan berusaha membangunkanku dari tidurku. Tidur yang ditemani buaian mimpi yang kian membuatku bertanya-tanya. Bagiku inilah mimpi yang paling aneh yang pernah kualami selama aku menjalani yang namanya tidur. Dalam mimpi, aku terinspirasi untuk membuat sebuah tulisan tentang penindasan. Ketika membuat tulisan ini aku teramat gembira dan senang karena aku bisa menulis sebuah pembelaan terhadap mereka yang tertindas dan yang mengalami kesengsaraan.
Alarm berbunyi, aku bangun. Mimpi membuatku kebingungan sendiri, menimbulkan keresahan dalam hati. Mimpi yang bagaikan menyuruhku untuk menulis tentang suatu hal. Bagaikan suara tangisan dari dalam kubur yang menuntut untuk keluar karena dikubur hidup-hidup, menuntut balas dengan keadilan. Aku dan mereka bertemu dialam bawa sadar kami. Mimpi tersebut menuntunku untuk menuliskan apa yang menjadi suara mereka dan juga apa yang menjadi suara hatiku.
Aku melihat modernisasi, globalisasi dan pembangunan dimana-mana bukanlah menjadi pemicu utama kesengsaraan rakyat. Melainkan aku melihat bahwa ada satu kata yang tepat dan menjadi kunci utama penindasan dan kesengsaraan rakyat adalah KETIDAKADILAN. Dari ketidakadilan muncul penindasan, dari penindasan muncul kesengsaraan. Kegagalan ekonomi, kegagalan politik dan kegagalan Demokrasi menjadi dalang dibalik semua ini. Hal ini mengindikasikan bahwa wakil-wakil rakyat tidak kompeten dalam memerintah. Salah satu kegagalan utamanya adalah tidak meratanya pendidikan, berkembangnya kapitalis. Berkembangnya kapitalis menjadikan rakyat berada dibawah ancaman penindasan, perampasan lahan, penggusuran untuk pembangunan dan ketidakadilan, itu merupakan dampak adanya kapitalis.
Kapitalis tidak akan mau bertindak apabila tidak mendapatkan untung, apabila tidak menguras, baik jasa, tenaga dan laba pun terpotong. Aku ingin mencari tahu lebih dalam lagi tentang penyebab kesengsaraan rakyat yang mencoba mengadu melalui mimpiku, aku melihat dinegaraku bahwa kami yang pribumi menjadi budak ditanah sendiri, jauh dari kata merdeka, jauh dari kata the founding father tentang konsep BERDIKARI. Sungguh miris melihat negeri kehidupan ini. Sebenarnya dari segala hak manusia, hak manusia bodoh untuk dibimbing oleh yang lebih bijak, untuk dengan lemah lembut atau dengan kekerasan diluruskan jalannya adalah hak yang paling tidak terbantahkan. Alam itu sendiri telah menetapkan sejak semula, masayarakat berjuang kearah kesempurnaan dengan menerapkan hak itu terus menerus. Jika kemerdekaan itu memiliki arti maka artinya ialah penerapan hak itu, yang didalam hak itu terletak semua hak hak lain.
Demokrasi telah menolak tertib alam, Demokrasi yang dijalankan pemerintah tidak sesuai dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. Aku tak menyalahkan demokrasi tapi aku menolak prosesnya, bagaimana pemerintah menjalankannya. Pemerintah menjadikan rakyat indonesia menjadi penghayal bukan pemikir, rakyat-rakyat tertindas menghayalkan akan hadirnya ratu adil, gatot kaca, mesias yang menjadi penyelamat yang suatu saat akan datang. Ini merupakan salah satu kegagalan pemerintah yang disukai kapitalis, rakyat tidak lagi berpikir melainkan penghayal/onani. Pemerintah kebanyakan larut dalam perpolitikan negara yang tak kunjung usai, politik pembodohan, politik yang membuat lupa pemerintah akan tugas yang sebenarnya. Kapan majunya, kapan sejahteranya? Mari berbenah negeriku!
“Berilah aku seorang pemimpin, seorang pemimpin sejati, bukan pemimpin palsu dan juga bukan harapan palsu, seseorang yang bisa memimpin ku kejalan yang benar, supaya boleh aku bersumpah setia kepada negeriku.”

Realita Sekolah



Oleh: Agum Patria Silaban[1]
Sekolah adalah tempat dimana orangtua menitipkanku. Adalah tempat dimana aku mengisi waktu luangku untuk belajar berbudi pekerti dan berestetika. Sekolah merupakan tempat dimana aku berkreasi dan mengembangkan bakat atau talenta yang telah diberikan yang Mahakuasa kepadaku. Sekolah menjadi tempat dimana aku menumpas ketidaktahuan menjadi tahu.
Dulu sekolah menjadi salah satu tempat idaman bagiku. SD, SMP dan SMA, adalah tahap-tahap yang harus kulalui. Aku menganggap sekolah adalah segalanya.aku berpikir tanpa sekolah aku tidak akan jadi apa-apa. Aku akan malu pada diriku, pada mereka dan pada semua orang, andai kata aku tidak sekolah. Teman dan kalangan masyarakat akan memarginalkanku, aku dicap bodoh atau si oto-oto. Aku tidak akan memiliki teman, karena orang tua mereka akan berkata, “jangan temani dia, dia tak sekolah, dia bodoh, nanti kamu akan seperti dia jika kamu berteman dengannya”. Adalah pernyataan yang sering aku dengar dikalangan masyarakat desa yang mampu menyekolahkan anaknya. Terkadang hala seperti ini yang membuat hati miris dan tersayat-tersayat melihat mereka yang tak sekolah (tidak sekolah karena tidak mampu, karena malas dan lain sebagainya). Ejekan dari kalangan masayarakat akan datang silih berganti kepada mereka yang tak sekolah. Bahkan kalau dikampungku mereka itu dibutuhkan hanya sebagai pekerja (pangurupi mangula). Setelah itu mereka akan tetap dikucilkan.
Apakah yang dimaksud dengan sekolah? Bagaimana perspektif masayarakat terhadap sekolah dewasa ini? Setelah aku menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri, aku banyak belajar masalah-masalah sosial dikalangan masyarakat dan terkhusus dikalangan pendidikan maupun sekolah. Jumat, 23 September 2016, kami kelompok studi BARSdem melakukan diskusi beda buku dari Roem Tomatipasang berjudul Sekolah Itu Candu. Dalam bukunya menyatakan bahwa sekolah berasal dari bahasa Latin: Skhole, scola/skhola. Yang artinya waktu luang atau waktu senggang. Aku melihat bahwa fungsi sekolah dulu dan sekarang itu berbeda dalam proses pelaksanaan. Sekolah pada masa dulu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika yang didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri dunianya.
Aku juga melihat sekolah saat ini berubah arti menjadi sebuah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Berubahnya sekolah menjadi sebuah lembaga sangat memiliki dampak kepada khalayak banyak, terkhusus buat anak dan pemuda serta keluarga yang tidak sanggup menyekolahkan anak. Karena adanya lembaga ini, tentunya membutuhkan biaya, biaya yang semakin lama, semakin melonjak tinggi atau mahal. Berubahnya sekolah menjadi lembaga sangat berpengaruh terhadap proses pelaksanaannya. Dimana lembaga dan pemerintah sepakat untuk mengadakan penormalan didunia pendidikan. Berlakunya ijazah untuk mencari pekerjaan. Mari kita lihat saat ini, adanya penormalan, orang-orang mampu akan kejar-kejaran untuk meraih pendidikan tinggi dan meraka yang tidak mampu akan kemana??? Orang mampu tanpa sekolah pun bisa membeli ijazah. Ini adalah realita yang aku lihat dan ini merupakan dampak dari penoramalan dan melencengnya penerapan sistem pendidikan oleh lembaga pendidikan.
Sekolah bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, bobroknya pendidikan sekolah saat ini. Sudah bobrok, tidak merata pulak lagi. Bagiku sekolah adalah penyakit sosial yang sudah mendarah daging dikalangan masyarakat. Masyarakat telah terkungkung oleh sistem yang melakukan penormalan hukum terhadap sekolah. Menimbulkan stigma dikalangan masyarakat bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan menuju sukses karena tanpa sekolah tidak akan mendapatkan ijazah untuk melamar pekerjaan.
Ketika aku menjadi seorang mahasiwa. Timbul lagi perspektif dikalangan masyarakat, mereka menganggap aku adalah orang pintar, intelektual dan cikal-bakal orang sukses. Ketika aku dikampung dan dikota maka identitasku akan berbeda. Setelah aku jauh keluar, jauh berjalan dan sejauh mata memandang. Kian banyak dirasa. Aku banyak disadarkan oleh bacaan-bacaan yang aku miliki. Selama ini aku sekolah, namun sekolah yang seperti apa yang kujalani?
Pemerintah mewajibkan sekolah sembilan atau sekarang menjadi dua belas tahun. Apakah itu solusi yang baik? wajib sarjana menjadi penentu? Banyak perubahan sistem yang dilakukan oleh mereka yang merusak pengertian dan makna sekolah. Aku melihat sekolah sudah jauh dari makna yang sebenarnya, sekolah bukan lagi waktu luang untuk belajar, berkreasi sesuai budi pekerti yang dimiliki. sekolah telah dinormalkan oleh sistem dan menjadi sebuah keharusan untuk menumpas kebodohan. Salut jikalau sekolah menumpas kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun bagaimana realita yang sesungguhnya? Aku ingin lembaga pendidikan kembali keasalnya yakni sekolah yang sesungguhnya. Sekolah pada masa dulu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral dan estetika yang didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada anak untuk MENCIPTAKAN sendiri DUNIANYA tanpa penormalan. Maka dari itu seluruh masayarakat kan merasakan pendidikan, pendidikan akan merata dengan baik.
            Dulu waktu aku ujian masuk perguruan tinggi. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh panitia, yang notabene panitianya adalah Mahasiswa dari universitas-universitas ternama. Aku lulus di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan. Aku bertanya dalam hati, mengapa harus ujian? Kalau ujian pasti ada yang tak lulus dong. Aku menyadari bahwa ternyata pemerintah tidak sanggup menampung seluruh pemuda/i penerus bangsa di perguruan tinggi negeri. Baik diperguruan tinggi swasta pun pasti terbatas. Mereka yang tidak lulus baik swasta maupun negeri, kemana?
Banyak kurasakan selama aku kuliah, aku juga melihat hirarki-hiraki di perguruan tinggi yang menimbulkan adanya politik identitas. Pemanfaatan identitas, untuk menguras, menindas dan berkuasa. Ini bukanlah sekolah yang kuinginkan dan bukanlah sekolah yang kubayangkan. Ada pertanyaan yang membuatku bingung dan juga merasa bodoh, yakni “Apakah aku BODOH, jika tidak membuat karya ilmiah?
Semua pertanyaan diatas menjadi PR tersendiri bagi pembaca yang merasa sadar akan identitasnya dan PR khusus buat sistem yang mengatur sistem pendidikan sekolah saat ini. Sekolah seperti apa yang kita jalani saat ini? Apakah mencerdaskan kehidupan bangsa? Kalau ia, mengapa ada yang tidak sekolah?
“Sekolah bukanlah satu-satunya alat untuk menuju apa yang kita mau, tetapi sekolah hanya bisa sedikit memberi jalan menuju apa yang kita inginkan”


[1] Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNIMED Medan. Terinspirasi dari buku Roem Topatimasang “sekolah itu candu”. Aktif di Kelompok Studi BARSDem dan Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Protestan, FIS, UNIMED.