BAB I
PENDAHULUAN
Batak
Mungkin
banyak kalangan yang bertanya, Siapakah orang Batak?
Orang Batak adalah salah satu suku
dari bangsa indonesia yang tinggal di Sumatra Utara, Sumatra adalah pulau
terbesar kedua setelah pulau kalimantan dan terletak pada ujung barat
indonesia. Yang mendiami dataran tinggi bukit barisan sekitar Danau Toba (http://id.wikipedia.org/wiki/suku bangsa di indonesia).
Suku Batak merupakan etnis keenam
terbesar setelah jawa, tionghoa-indonesia, madura dan melayu di indoensia. Suku
batak terdiri dari dari enam sub suku yaitu angkola dan mandailing di sebelah
selatan, toba di pusat, dairi/pakpak di sebelah barat laut, karo di sebelah
utara dan simalungun di sebelah timur laut (nainggolan 2012:4).
Batak sebenarnya sudah sangat jarang
di pakai bila meruju kepada kelompok etnis batak selain Batak Toba. Kelompok
etnis lain tersebut sudah sangat jarang menyandang predikat batak. Salah satu
alasan mengapa predikat batak kini jarang di pakai oleh ke lima etnis batak
tersebut adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa batak toba cenderung menyebut
diri sebagai batak bukan sebagai toba. Dengan demikian batak dianggap sebagai
sinonim dari toba (kozok 2009:11)
Bendera Batak
Penulis memilih batak unuk studi ini
karena penulis sendiri adalah suku batakdan batak merupakan kelompok paling
besar diantara sub-suku lainnya dan merupakan pusat kebudayaan bangsa batak.
Orang Batak tinggal di sekitar Danau
Toba, menurut administratif Negara
Kesatuan Republik Indonesi terdiri dari kabupaten tapanuli utara, kabupaten humbang
hasundutan kabupaten toba samosir dan kabupaten samosir. Disebelah barat Danau
Tiba terdapat gunung Pusuk Buhit yang menurut mitos di kaki pusuk buhit inilah
Si Raja Batak atau Orang Batak pertama mendirikan huta atau pemukiman yaitu si
anjur mula-mula yang menjadi huta orang batak yang pertama kali (nainggolan
2012:5).
Orang Batak terutama hidup dari
pertanian. Berabad-abad lamanya mereka selalu mengusahakan pertanian sawah
dengan perairan terpadu. Maka tidak heran Batak Toba berdiam di lembah-lembah
dan sekitar Danau Toba sebab disana ada cukup air untuk persawahan. Kondisi
geografis lembah membuat mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi
yang kemudian komunitas suku ini hidup dalam ikatan keluarga yang kuat
(nainggolan 2012:6).
Orang
batak Toba adalah tipe suku yang suka merantau. Mereka akan bermigrasi
ketempat-tempat tertentu untuk melangsungkan kehidupan merka sendiri. Meskipun
telah merantau mereka tidak akan pernah lupa tu bona ni pinasana (kampung
halamannya). Migrasi batak toba adalah mekanisme utama untuk mendirikan
kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi untuk kepadatan
penduduk (nainggolan 2012:6)
Keenam
sub suku batak memiliki bahasa satu sama lain namun mempunyai banyak persamaan.
Namun para ahli membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa batak yang
perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara
kedua kelompok tersebut. Bahasa batak angkola, mandailing dan toba membentuk
rumpun selatan sedangkan karo dan pakpak dairi termasuk rumpun utara dan
simalungun sering di golongkan rumpun utara dan rumpun selatan karena merupakan
cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari batak selatan sebelum bahasa toba
dan angkola mandailing terbentuk. Semua dialeg bahasa Batak berasal dari satu
bahasa Purba (proto lenguage) (kozok 2009:13).
Bahasa
toba, angkola, mandailing tidak banyak berbeda. Malahan angkola dan mandailing
merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada
umumnya disebut angkola mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan antara
bahasa antara suku-suku Batak, tidak mengherankan tiada juga peredaan-perbedaan
varian-varian surat batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian
surat batak yakni karo, simalungun, toba, pakpak dan angkola-mandailing (kozok
2009:14).
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Tulisan (Aksara) Batak
Banyak ahli berpendapat bahwa aksara Batak berasal dari
aksara Semit Kuno, lalu menurun ke Semit Utara, Aramea, masuk ke Brahmi (India
Selatan), lalu Pallawa, kemudian Sumatra. Dasar penulisan Batak terdiri dari
dua perangkat huruf, Ina Ni Surat dan Anak Ni Surat. Sistem
tulisan seperti ini biasanya dipakai di India. Tradisi penulisan aksara Batak
Toba diduga telah ada sejak abad ke-13.
Di ranah Batak, ada dua bahasa daerah yang berbeda
dialeknya: Batak Karo (di utara) dan Batak Toba (di selatan). Selaian Batak
Karo, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di utara ini adalah dialek Alas
(kelompok non-Batak), dialek Batak Pakpak-Dairi, serta pelbagai dialek
turunannya. Ada pun kelompok selatan meliputi Batak-Toba dan
Angkola-Mandailing. Sementara itu, dialek Batak Simalungun berbeda dengan
dialek utara maupun selatan; dan kemungkinan besar usianya lebih tua dari
cabang wilayah selatan.
Sebagai akibat dari penjajahan Belanda pada abad ke-19 setelah
sebelumnya berkobar perang antara rakyat Batak dengan pihak kolonial banyak
orang Batak Toba pindah ke Dairi, Simalungun, dan Alas. Kini, bahasa Toba
banyak digunakan di wilayah Pematangsiantar dan Sidikalang.[1]
Sistem Aksara Batak
Pada seminar bertanggal 17 Juli 1988, sejumlah tokoh Batak,
dari mulai Batak Angkola, Sipirok, Padang Lawas, Mandailing, Toba, Dairi,
Simalungun, dan Batak Karo, mencoba mengembangkan aksara Batak, dari 19 induk
huruf menjadi 29 induk huruf. Dengan begitu, bahasa Indonesia dapat dituliskan
dengan aksara Batak.
Aksara Batak ini memiliki kesamaan dengan aksara Kaganga
yang meliputi aksara Rencong (disebut pula aksara Kerinci), aksara Rejang,
aksara Lampung. Kemungkinan besar, aksara Batak dengan aksara Kaganga bernenek
moyang sama. Akan tetapi, aksara Batak belum pernah digunakan pada tulisan-tulisan
permanen seperti pada batu (prasasti) atau pun lempengan atau mungkin belum
ditemukan? Kebanyakan, aksara Batak ditorehkan pada tabung bamboo, kulit kayu,
dan kertas.[2]
Ada pun aksara Batak adalah aksara semisilabis yang
terdiri atas 19 huruf (induk huruf)dan, tergantung pada dialeknya, 5 sampai 7
tanda diakritik untuk menandai vokal dan beberapa konsonan akhir (anak huruf).
Silabis adalah tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis.
Berikut bagan aksara-aksara vokal dan konsonan Batak dari
berbagai daerah (Toba, mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak) yang berjumlah
19.
Bahasa dan Aksara batak;
Vokal-Konsonan
Selain aksara vokal dan konsonan, dalam sistem aksara Batak
dikenal adanya tanda baca yang disebut pangolat dan saringar. Pangolat
adalah tanda yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan, sedangkan saringar
berfungsi untuk membuat bunyi vokal dan sengau(-ng) pada huruf konsonan seperti
i, o, e, u, ng, ing, dan ong.[3]
Berikut bagan pangolat dan saringar beserta
contoh penggunaannya.
Bahasa Batak
Semua
dialek bahasa batak berasal dari bahasa purba (proto-longuage). Bahasa purba
adalah sebuah bahasa yang menjadi indukdari bahasa yang saling berhubungan
dengan membuat suatu rumpun bahasa, yang sebagian kosakatanya dapat di
rekonstruksikan. Linguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang
menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki
perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain (kozok 2009:13)
Bahasa
Toba, angkola dan mandailing tidak lah jauh berbeda. Malahan angkola dan
mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan
sehingga pada umumnya disebut bahasa angkola-mandailing. Dengan adanya
kesinambungan linguistik antara suku-suku batak, tidak mengherankan juga Suku Batak memiliki bahasa yang satu
sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa
membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu
besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok
tersebut.[4]
Angkola, Mandailing,
dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi
termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok
bahasa yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan. Namun secara
historis bahasa simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah
dari cabang Batak Selatan, sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing
terbentuk.
Semua dialek bahasa Batak berasal dari suatu bahasa purba (proto
language) yang dianggap telah menurunkan beberapa bahasa yang sekarang
ada. Sebagian kosakatanya melalui linguistik historis komparatif sampai
sekarang diwariskan oleh rumpun batak Utara. Dalam hal ini rumpun utara-lah
yang melesarikan bentuk aslinya. Misal kata untuk bilangan tiga dalam bahasa
Batak Purba adalah tělu, bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh
rumpun Batak Utara. Sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari
[ě] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu. Namun banyak
contoh lain yang bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan.
Bahasa Karo dan Simalungun sering disebut sebagai dua bahasa
yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain. Akan tetapi,
di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena
di situ masing-msaing bahasa memiliki banyak kata dipinjam dari sebrang
pembatas mereka. Hal demikian terjadi bukan saja dari segi bahasa, dari segi
budaya pula tidak ada perbedaan yang begitu mencolok di antara kampung-kampung
Simalungun dan karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah
perbatasan antara bahasa atau budaya Karo dan Pakpak atu Pakpak dan Toba
sekalipun.
Bahasa Toba, Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda.
Jika ditelaah lebih jauh, bahasa Angkola dan Mandaling merupakan dua bahasa
yang mempunyai sedemikian banyak persamaan, sehingga pada umunya disebut bahasa
Angkola-Mandaling saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku
Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas
antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada
lima varian surat Batak, yakni; Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan
Angkola-Mandaling. Namun, kita harus mengingat bahwa dari segi bahasa, budaya
maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak
tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.
Pustaha
“Buku” Orang Batak
Pustaha
adalah sebuah buku yang terbuat dari kulit kayu. Pustaha yang sederhana terbuat
dari laklak yang dilipat-lipat dan tidak memiliki sampul kayu untuk menjilidnya
sedangkan pustaha yang mewah dapat memiliki sampul yang memiliki ukiran yang
indah sekali. Pusataha kecil biasanya berukuran 3 x 5 cm hingga pustaha besar
yang ukurunnya 40 x 25 cm (kozok 2009:29).
Tulang
kerbau di pakai sebagai bahan tulis. Proses penulisan sama dengan di bambu
yakni di ujung pisaudan goresan pisau itu kemudian di hitamkan. Bambu adalah
bahan yang praktis yang dapat di temukan kapan dan dimana saja (kozok 2009:30).
Aksara Batak yang diukir pada tabung bambu yang dibuat oleh
Raja Bunto Pane kepada John Anderson di Penang pada tahun 1832.[5]
Pustaha merupakan naskah yang terbuat dari kulit kayu alim (Aquilaria
malaccencis) yang biasa dipakai oleh masyarakat Batak untuk menuliskan
hal-hal penting. Kulit kayu ini dibeset dalam carikan panjang, kemudian dilipat
seperti alat musik akordion, lalu ditempelkan pada dua sisi sampul kayu yang
berfungsi sebagai pengikat. Kadang-kadang jalinan rotan digunakan untuk
mengikat pustaha ini, dan tangkai kecil untuk memberi tinta dari jelaga damar
dan getah pohon.
Dahulu, pustaha ditulis oleh datu atau guru dan tukang sihir
(dukun). Biasanya mereka menulis tentang pelaksanaan ritual keagamaan,
bagaimana menafsirkan sebuah pertanda alam, resep meracik obat tradisional.
Hanya masalah administrasi tak dimuat dalam pustaha ini. Pun, tak ada karya
sastra seperti ledenda dan mite yang diabadikan melalui pustaha ini;
mereka lebih suka memakai tradisi lisan (disebut turi-turian).[6]
Selain kulit kayu, masyarakat Batak,
terutama yang bukan golongan pendeta/dukun, mempergunakan bahan-bahan dari
bambu untuk menuliskan aksara Batak. Mereka mengukir aksara Batak dengan
memakai pisau tajam bagian atas ke dalam lapisan ari bambu tersebut.
BAB III
Perubahan Agama
Parmalim
Berbicara
tentang sistem religi maupun transformasi religi dalam suku batak, kita tidak
boleh terlepas dari adanya kepercayaan parmalim. Menurut penulis, agama
parmalim adalah agama yang sejarahnya panjang bagi suku batak yang melampui
sejarah kekristenan di tanah batak maupun di indonesia yang menganut agama lain.
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke
tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”.
Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur
serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki
tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat
dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat
menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan
penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan,
kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah
yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat
dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan
istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu
Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan
salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan
sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga
menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah
luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja
orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk
menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu
dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula
Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula,
Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata
asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk
menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah
satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi
Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata
Mula Jadi Nabolon”.
Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara
kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim
sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai
identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur
pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan
dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme
Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya
Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim,
sebuah agama kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan
peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim terbesar
berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi. Di
desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit.
Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari
peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada
ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan
Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan
juni-juli.
Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya
mengunakan sorban seperti layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang
batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua
acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek Raja
Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama
Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk
yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di
Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.
Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim
1.
Kitab Batara Guru
Kitab ini berisi seluruh rahasia
Allah tentang terjadinya bumi dan manusia beserta kodrat kehidupan dan
kebijakan manusia yang tercermin pada Batara Guru yang mempunyai lambang hitam.
2.
Kitab Debata Sorisohaliapan
Kitab ini berisi tatanan hidup
manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukan sesuai
dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing.
3.
Kitab Mangala Bulan
Kitab Mangala Bulan menerangkan
tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini menceritakan kekuatan manusia dalam
menjalani hidup termasuk bumi dan seni bela diri batak dalam menjalani hidup
sehari-hari. Kitab ini terbagi atas dua jenis
4.
Debata Asi-Asi
Kitab ini menerangkan tentang inti
dari Kitab Batara Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala Bulan (Debata Natolu)
dan induk dari segala kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu pengetahuan
manusia, karena manusia adalah titisan Debata Asi-asi.
5.
Kitab Boru Debata
Kitab ini berisikan tentang
kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri titisan Allah juga
mengenai para ratu air.
6.
Kitab Pengobatan
Kitab ini menerangkan tentang
bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang sakit menjadi sembuh, bagaimana
agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana cara melaksanakan budaya ritual agar
manusia itu sehat. Dalam kehidupan orang batak segala sesuatunya termasuk
mengenai pengobatan selalu seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka
peninggalan leluhur jaman dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan
diri pada sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya.
Kitab ini dibagi empat bagian.
7.
Falsafah Batak
Kitab ini berisi tentang adat
istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni musik terutama bidang
pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.
8.
Kitab Pane Nabolon
Sejak zaman dahulu orang batak sudah
mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap harinya. Parhalaan Batak adalah
cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap manusia. Apa yang akan terjadi
besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib seseorang,
barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan
kebiasaan pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual
segalanya lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di
bagi dua bagian.
9.
Kitab Raja Uhum Manisia
Kitab ini adalah kitab yang berisi
penghakiman.
Kehidupan Batak sebelum masuknya
Injil
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia
yang mempertahankan kebudayaanya; mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada
masa lampau orang Batak tidak suka terhadap orang luar (Barat/sibottar mata)
kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi mereka
bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering
terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku
penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau begu
(setan) yang disembah, seperti begu djau (dewa yang tidak dikenal
orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati),
begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak
hewan dan berladang. Mereka menjual hasil dari
perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari tertentu. Di
pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli
beras, garam, tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan
antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat
pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung
terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja
Si Singamangaraja
yang berada di Bakkara. Raja
Si Singamangaraja
kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh
aturan-aturan adat yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak
dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual
adat.
Sebelum Injil
masuk, masyarakat Batak merupakan penyembah berhala.Kehidupan agamanya
bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Umumnya
mereka percaya pada kekuatan di alam dan
kekuatan benda-benda yang dikeramatkan. Masuknya agama Kristen sangat
berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat,terutama bagi masyarakat
Batak Toba. Agama Kristen masuk ke tanah Batakdisiarkan oleh Misionaris dari
jerman yang bernama Ingwer Ludwic Nommensen pada tahun 1963.Dan Nommensen
secara kristiani digelari sebagai Apostel Batak. Secara umum, suku Batak
memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada
pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan)
dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan
sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak dan sebelum suku
Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan
religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan
pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.Menyangkut jiwa dan roh,
suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu tondi, sahala, dan begu. Konon, pada
jaman dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat bermukimnya Sombaon.Sombaon
adalah Roh Alam yang tinggi martabatnya dalam kepercayaan Batak Kuno. Roh ini
sangat ditakuti karena dipercayai dapat menentukan nasib baik maupaun buruk
dari orang-orang yang bermukim di sekitarnya, sehingga pada waktu itu tidak
jarang Sombaon atau tempat ini dipuja-puja dengan memberikan pelean (sesajen)
dengan harapan akan mendapat keberuntungan dan keselamatan. Dipuncak si atas
barita inilah sekitar tahun 1863 yang lalu, DR.I.L.Nommensen menatap lembah
Silindung yang begitu indah dan luas, seraya memanjatkan doa nya: “hidup atau mati,biarlah aku tinggal di
tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaanmu”.
Menurut kepercayaan masyarakat
Batak, awalnya nenek moyang mereka bernama Siraja Batak. Mengukir aksara Batak
untuk dapat menulis bahasa Batak. Siraja Batak ini tak tahu bahwa masih ada
bahasa-bahasa lain selain bahasa ibunya. Barulah setelah masyarakat Batak
menyebar ke desa na uwalu, mereka tahu bahwa masih ada bahasa daerah
selain bahasa Batak. Kenyataan ini mereka ketahui setelah datangnya sibontar
mata (bangsa asing), kemudian disusul Perang Batak dan Perang Padri.
Terbukalah mereka bahwa sebetulnya masih banyak bahasa yang mereka temui di
luar Tano Batak.
Masuknya Agama Injil ke Tanah Batak
Penulisan
sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa
lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan
subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut
pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi
yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh
karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang
pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu
kenyataan yang relatif.
Sebelum
datangnya penginjil jerman ke Tanah Batak telah ada missionaris dari berbagai
negara, seperti:
1.
Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun
1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis
Inggris yaitu Nathan
Ward, Evans dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat
tinggal suku Batak yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles.
Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi,
yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di Silindung,
mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan
mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah
menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka
harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena
itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
2.
Penginjil utusan American Board of Commissioners
for Foreign Mission
Pada tahun
1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja
Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign
Mission
(ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah
Silindung, pada
malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu
Pining.
Pembunuhnya adalah Raja
Panggalamei,
yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama
dengan rakyatnya.
3.
Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft
Pada tahun
1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm
Junghuhn melakukan
perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku
Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk
membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau
Sumatera. Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim
seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan
untuk menerjemahkan Alkitab. Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan
penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang
Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia
merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van
der Tuuk memberi
saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil
G.
Van Asselt, utusan
dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan. Ia menembus
beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani. Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus
Tampubolon dan Simon
Siregar. Pada
tahun yang sama—tepatnya pada 7 Oktober 1861—diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda,
yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk
menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische
Missionsgesellschaft.
Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP).
Kemudian Ludwig Ingwer
Nommensen
(1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa
dan adat Batak
dan Melayu. Ia tiba melalui badan Misi Rheinische
Missionsgesellschaft.
Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja Batak Pertama yang dibaptis)
untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia
tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak
diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima
orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek
moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan
roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh
Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan
seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak: Roh
yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut
darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.
Ditinjau dari
segi administrasi pemerintahan, kota Tarutung adalah ibu kota Kabupaten
Tapanuli Utara. Secara geografis kota Tarutung berbatasan dengan Kecamatan Siborong-borong
di sebelah utara, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Siatas Barita.
Pada umumnya masyarakat Tarutung adalah orang Batak Toba.
Orang Batak ini adalah salah satu dari sub etnik suku Batak yang berasal dari
Sumatera Utara yang terdiri dari sub etnik Karo, Simalungun, Pakpak, Toba,
Angkola, dan Mandailing. Kota Tarutung mayoritas penduduknya adalah orang Batak
Toba yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Tarutung merupakan kota di
mana masyarakatnya cukup baik untuk menerima pendatang dari luar suku Batak
Toba sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat sejak masuknya pengaruh
Barat ke wilayah Silindung khususnya ke wilayah Tarutung. Nommensen yang tiba
di Tanah Batak (di Sibolga) pertama kali tahun 1862 adalah salah seorang
penginjil yang datang ke wilayah Silindung yang berhasil menyebarkan agama
Kristen di sana. Bahkan untuk mengenang jasa Nommensen tersebut maka oleh
masyarakat Kristen di Silindung didirikan sebuah monumen yaitu Salib Kasih yang
diresmikan dalam tahun 1997. Pada awalnya memang terjadi konflik mengenai
pengaruh Barat yang masuk, tetapi akhirnya pangaruh tersebut dapat diterima.
Monumen Salib Kasih merupakan suatu perwujudan dari
bentuk peralihan masyarakat batak yang memahami Mula jadi Nabolon dan
mempercayai animisme dan hal-hal lainnya kemudian menjadi penganut kepercayaan
religi kristen protestan. Sebuah bangunan salib yang sangat besar melambangkan
kemenangan umat kristiani dari dosa dan maut. Monumen Salib Kasih tersebut
memiliki makna simbolik bagi masuknya ajaran Kristen di Tarutung, dan kini
Salib Kasih menjelma sebagai lambang dan trademark kota Tarutung.
Tingginya bangunan pada Monumen Salib kasih melambangkan
sebuah simbol dan makna dalam kepercayaan yang dianut masyarakat batak sebelum
mengenal agama dan sesudah mengenal agama yaitu sebuah simbol lambang Trinitas
di dalam kepercayaan Kristen yaitu Allah Bapa, Roh Kudus dan anaknya Yesus
Kristus dan di dalam kepercayaan kebudayaan Batak yaitu Mula jadi Nabolon
melalui pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang
terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan
tinggi, namun orang Batak belum seutuhnya meninggalkan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati
sanubari mereka inilah yang menjadi warisan kebudayaan bagi orang batak selama
hidupnya dan bentuk Transformasi dalam perubahan sosial budaya Batak. Praktik
kebudayaan ini menyatukan antara kepercayaan kepada Tuhan dan nilai hidup yang
dianut dalam budaya suku bangsa.
Agama dan budaya menjadi sebuah tameng untuk
diyakini masyarakat akan terlaksananya
sebuah kehidupan yang baik oleh kelompok tersebut.(Bakker,J.P 1984:150). Bangsa
yang berbudaya ialah bangsa yang selalu mengingat sejarahnya.Kini orang Batak
menggelar Napak Tilas untuk menghargai Nommensen sebagai pelaku sejarah yang
membawa orang Batak keluar dari keterbelakangan.
Dengan adanya pengaruh Barat tersebut, menempa
masyarakat Batak Tarutung menjadi masyarakat yang menjalani perubahan budaya
baru. Hal ini juga terjadi pada saat banyaknya masyarakat pendatang dari luar
Tarutung yang masuk ke Tarutung. Para pendatang ini umumnya adalah orang-orang
Minangkabau dan Jawa yang mulai banyak berdatangan sekitar tahun 1960-an. Para
pendatang ini dari segi budaya dan agama sangat berbeda dengan orang-orang
Batak di Tarutung. Dari pendatang inilah muncul komunitas Islam di Tarutung.
Mereka membawa kebudayaan dan agama dari tempat asal mereka dan tetap
menjalankannya di wilayah Tarutung.
Pada awalnya Islam di Tarutung juga ada orang Batak
Toba sendiri yang sudah menjadi Islam jauh sebelum para pendatang suku
Minangkabau dan Jawa datang ke Tarutung. Jika ditinjau secara garis besar kota
Tarutung adalah kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Bahkan pusat
gereja HKBP di Asia Tenggara juga berada di kota ini. Kota Tarutung juga
disebut sebagai kota Wisata Rohani dengan salib Kasih sebagai monumen kebanggaannya,
namun di sini dapat pula ditemukan adanya masyarakat Islam.
Sebelumnya masyarakat Islam yang ada di Tarutung
banyak berasal dari daerah-daerah Tapanuli Selatan, yang juga pengaruh dari
Minangkabau. Secara lambat laun Islam juga berkembang di wilayah Silindung
khususnya di kota Tarutung. Islam yang masuk merupakan pengaruh dari pasukan
Paderi yang datang ke Tapanuli dengan niatan untuk menyebarkan agama Islam di
Tanah Batak. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil dengan baik, tetapi
tetap saja meninggalkan jejak Islam di Silindung khususnya Tarutung dan
sekitarnya terutama daerah Pahae yang cukup dekat letaknya dengan Tarutung.
Kota yang dahulunya sebagai ibu kota pemerintahan
Afdeling Batak Landen, yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi kini
Islam dapat berkembang secara berdampingan dengan agama Kristen di kota ini.
Suatu hal yang menarik, sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu
Kristen dan Islam.
Adapun tentang Islam di Tanah Batak khususnya di
Tarutung mempunyai sejarah panjang. Agama Islam telah menyebar dengan cepat
sekali ke seluruh Tapanuli Selatan setelah kekalahan kaum Paderi. Meskipun
invasi Islam di sana sebelumnya mengalami kegagalan, namun para pemimpin
Mandailing menganggap bahwa agama asli mereka itu tidak dapat dipertahankan
lagi, sehingga mereka kemudian menganut agama Islam dan mengikuti serta
mencontoh unsur-unsur budaya Melayu-Islam lainnya. Sementara ketika itu agama
Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Pada waktu itu belum ada
misionaris, apalagi sangat sulit bagi Belanda untuk ikut aktif dalam
menyebarkan agama Kristen, sebab tindakan demikian akan sangat membahayakan
seluruh strategi pemerintah kolonial Belanda yang sangat mengharapkan dukungan
dan bantuan golongan “hitam” ( Muslim anti-Paderi dan pro-adat) di Sumatera
Barat. Maka sejak sekitar tahun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh
bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses Islamisasi.
Di kalangan orang-orang Belanda yang anti Islam dengan
sebagian didasari oleh pertimbangan imperialis dan sebagian lagi oleh
pertimbangan kemajemukan nasional menyatakan “orang Batak sangat terbuka pada
peradaban”, seperti terlihat pada orang Mandailing yang tidak hanya menerima
Islam, tetapi juga sama beradabnya dengan para tetangga mereka yang muslim,
bahkan sekarang telah melampaui orang Melayu (maksudnya orang Minangkabau).
Orang Batak menganggap kita sebagai sekutunya, sehingga kita juga harus
memperlakukan mereka layaknya sekutu. Perkembangan agama Kristen di Tanah Batak
sejalan dengan penguasaan Belanda atas wilayah ini menyusul didirikannya
sekolah-sekolah. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah gubernemen atau
sekolah Melayu di Tanah Batak bagian selatan hanya di kota-kota agak besar
seperti Padangsidempuan, Batunadua, Hutapadang, Angkola, Natal, Hutagodang,
Kotanopan, Panyabungan, Siabu, Tanobato, Maga, Gunungtua, Sibuhuan, Sipirok,
Bungabondar, Baringin, Batangtoru, Sibolga, Barus, Singkil, dan lain-lain.
Berbeda dengan Zending, mendirikan sekolah hampir di setiap negeri atau
kampung, yaitu di mana ada guru di situ ada sekolah Zending.
Masuknya Agama Islam
Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari
Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari
kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama)
di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama.
Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama
Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan
Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis
ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama
Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang
dari Gujarat dan Cina.
Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali
yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara
kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena
tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang
tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung
dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum
Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga
menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian
mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekera san senjata, bahkan di beberapa
tempat dengan tindakan yang sangat kejam. [7]
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak,
selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara,
agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha.
Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite
(Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan
Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk
setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak
mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari
Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing
berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan
seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga
Singamangaraja X.
Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga
Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua,
kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap
pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh
lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga
Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan
perang tanding – satu lawan satu sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang
tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu
tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya
serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.
Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan
tewas ditangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah
Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi
di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian
bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar
Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar
yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk
membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini baru
terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar yang
datang bersama pasukan Paderi, dibawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)
memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam
penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.[8]
Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri
dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela
adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah
putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah
anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran
Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja
X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat
mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X
mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga
Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma
Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini
bermarga Simorangkir. Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang
Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya,
Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan
hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di
Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan
batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan
pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu
kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola.
Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya,
juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra
kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit
ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana
kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah An gkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan
memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan
dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di
Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat
kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin,
Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan
penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji
Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar
Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh,
yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk
rencana untuk mengislamkan Mandailing. Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang
teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari
Pongkinangolngolan.
Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah
keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut
dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk
Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan
syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang
Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab,
karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan
pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh
pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris
Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya
adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan
kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan
diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari
Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat
menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan
Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan
orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.
Kronologi Islam di Tanah Batak
Berikut adalah angka tahun Islam di tanah Batak. Yang
meliputi tanah Batak pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak atau Batak
utara, Barus, Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo, Simalungun, Karo
dan kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke hilir sungainya di
sumatera bagian timur.
633-661
Disinyalir pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin
hubungan dengan beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan
itu masih sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin
hubungan kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah
lainnya. Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan mengenai
kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan sumatera lainnya
yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.
661-750
Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara
intens di masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untuk misi
dagang tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak,
khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan kepada
penduduk setempat melalui medium non-formal.
718-726
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam
berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam.
Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.[9]
730
Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari
pedagang Cina yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana.
Kerajaan-kerajaan buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang sangat kuat
menguasai sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Diyakini
orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan ajaran Buddha ke komunitas
Batak khusunya yang di Mandailing.
851
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan
kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan
tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina,
India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun
kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus.
Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua
komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional
di hutan-hutan.
Sekarang ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis
yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang
awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan
10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan
kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk
dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al Ma’arif 1987). Kehidupan
yang mapan itu pula memungkinkan mereka untuk hidup secara permanen di kawasan
ini yang sudah pasti didukung oleh sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar
mereka tidak tertinggal dengan pesaing lainnya.
Sebagai pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan
pendidikan tertua bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus
merupakan wilayah Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari
pedalaman yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah dirintis rapi
oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan dan membeli produk
jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an, madrasah-madrasah tradisional Barus
masih menjadi primadona tujuan pendidikan di tanah Batak sebelum akhirnya
digantikan oleh Mandailing dengan pesantren-pesantrennya yang sudah modern.
Masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus
mengakibatkan penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus,
Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya
beberapa elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak
di sentral Batak masih menganut agama asli Batak. Kelompok Marga Tanjung di
Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam
Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas
Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
900
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur,
nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara
(Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus
merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
Sambil berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga
Hutagalung, Pasaribu, Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan
majlis pendidikan kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih
berlangsung sampai era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain sebagainya.
Di daerah Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan Islam adalah kalangan
Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara cuma-cuma dan gratis ini bisa
diartikan sebagai taktik dagang untuk mendekatkan mereka dengan penduduk setempat.
976-1168
Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena
ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.
1128-1204
Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo
pernah direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil.
Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem pendidikan
yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di Barus dan daerah
Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk gigi. Khususnya mereka
kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab, India dan Persia. Namun
penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya sementara. Di Barus
kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa tunggal menjadi kesultanan
Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini mempunyai aliansi yang kuat
dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.
Kerajaan Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan
pesisir Sumatera bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak
hegemoninya. Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam dengan
penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan Hatorusan ini
muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan Barus
Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai Sultan Barus Hulu.
Persaingan politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini
sering berpecah. Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih
dekat kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan yang saling
berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik pada saat mereka Islam
maupun Buddha dan Hindu
.Kalangan intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus.
Ekspor kapur barus meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan.
Barus menjadi rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad
ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur
di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk
dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak
yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.
Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur
al-Fansuri dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa
Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain
adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah
produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya adalah orang-orang
Pakpak dan Toba (Associate Prof. Dr Helmut Lukas, Bangkok 2003).
1275-1292
Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi
Pamalayu kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan
Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan
kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang didukung
oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti Kesultanan
Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar Kalipah dan
lain-lain.
1285-1522
Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak ke permukaan dengan
raja pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas
prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas puing-puing
kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang Batak Karo.
Uniknya, kesultanan ini telah memakai paham syafii yang
menjadi kompetitor terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik
dan budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii mulai
masuk ke tanah Batak.
Kesultanan Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai
kesultanan Aceh karena secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun
sebagai sebuah kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur,
posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan pendidikan
di tanah Batak.
Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap,
seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya
dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua
lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.
1331-1364
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara,
tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit
tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi
militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak
Aceh. Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan
Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit
dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat.
1345
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi
di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13
Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk
wilayah Sumatera (Ferrand 112).
1450-1515
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan
dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan
sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk
tanah batak.
1451
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai
berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang
sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar
Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500
M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok
marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya
dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan,
Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi
supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi
pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea,
lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul
setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan
Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi
musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang,
selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas
perdagangan.
Dominasi pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang
ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan
karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan
Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung
mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung menjadi komunitas
Islam syiah di pedalaman Batak.
Abad 15-16
Barus
dengan kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan Dinasti
Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem pendidikan yang
modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul di era ini. Beberapa
tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi kota tujuan utama musafir
asing.
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara
Portugis- yang terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa
Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi
para pedaganga asing.[10]
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang
dijual dalam jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus,
kayu gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The
Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein:
Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga
mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat
al-Muhriya fi Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan
utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri
lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama
Sidi Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan
kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera.
BAB IV
KESIMPULAN
Surat atau Tulisan Batak
Tulisan Batak adalah tulisan yang
ada di bangsa yang Multikultural ini. tulisan Batak yang telah menghasilkan
aksara yang menakjubkan, terbuat dari kulit kayu yang di lipat-lipat, berisi
aksara yang khas dan gambar magis yang agak sukar untuk di mengerti.
Tulisan Aksara ini sudah hampir
punah, buku kulit kayu (pustaha), juga bambu dan tulang beraksara, kini menjadi
barang perpustakan dan museum dan kebanyakan di luar negeri. Ini memperingatkan
kita untuk selalu menjaga dan melestarikan sejarah leluhur kita walaupun
sedikit bertentangan dengan ajaran agama dan keyakinan kita sendiri. Dengan
cara itu kita dapat mengerti sejarah kehidupan kita pribadi lepas pribadi.
Religi Batak
Orang Batak percaya bahwa mereka
adalah keturunan debata Mulajadi Nabolon (dewata) melalui Si Raja Batak sebagai
manusia pertama. Ritus adalah praktik religi. Dalam ritus batak kita banyak
menemukan simbol-simbol yang memberi gamabaran tentang struktur pemikiran Batak
mengenai kehidupan mereka.
Salah satu bagian penting dalam
ritus Batak ialah doa(Tonggo) baik dengan maupun tanpa persembahan. Religi
tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang statis dan tertutup dalam dirinya
sendiri. Melalui sejarah orang batak kita sudah melihat bahwa religi mereka
berubah secara dinamis dan terbuka kepada unsur-unsur baru.
Dengan adanya keterbukaan di wilayah
Batak itu sendiri berdampak dengan munculnya kebudayaan baru. Seperti masuknya
kekristenan dan pengaruh islam di tanah Batak, mengakibatkan wilayah ini
menjadi spesial karna adanya berbagai sub suku Batak dan perbedaan
kepercayaannya. Walaupun dengan perbedaan itu tanah Batak tetaplah tanah yang
rukun yang cinta akan kedamaian antar sesama. Batak tetaplah suku yang spesial,
keras, tegas dan bijaksana. Di muka bangsa yang multikultural ini.
Disini penulis berterimakasih kepada
semua pihak yang membant penulis, dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yang selalu memberi kekuatan dan kesehatan dalam menyelesaikan buku ini.
Berhubung karena penulis sendiri adalah batak asli, maka hendaknya menyampaikan
pepatah Batak yang sangat khas, yakni:
Sititi
ma Sigompa
Golang
golang pangarahutna
Tung
so sadia pe pinatupa
Sai
godang ma pinasuna
Horassss..........!!!!!!!!!!!!
DAFTAR PUSTAKA
Ager,
Simon. 1998. Batak Alphabet.
[online]
Hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia” Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah
indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Medan 20 Appril 2014
Kozok,
Uli. 1999. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: KPG
Kozok, Uli. Sejarah
perkembangan tulisan batak, penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
2009.
Kozok,
Uli. Utusan Damai di Kemelut Perang. Peran Zending dalam Perang Toba
berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, École française d’Extrême-Orient.
Kartodirjo,
sartono 2014. Pengantar sejarah indonesia
baru: 1500-1900 dari masa emporium hingga imperium. Yogyakarta: penerbit
ombak
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10
(Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Panitia
Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. Seratus Tahun Kekristenan Dalam Sejarah
Rakyat Rakyat Batak. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum.
Supriadi Wawan. 2010. Mengenal Aksara Batak. [online]
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/,
Simanjuntak, Bungaran.A, Prof. Dr. Pemikiran Tentang Batak, penerbit:
Yayasan Pustakan Obor Indonesia, Jakarta 2011.
Yushar,
2014. “Sejarah indonesia”. Medan:
unimed press.
[1] McGlynn, John H McGlynn, dkk. Indonesian Heritage 10
(Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
[2] Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak.
Jakarta: KPG, 1999.
[3] Supriadi Wawan. 2010. Mengenal Aksara Batak. [online]
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/, februari 2010.
[4] Simon Ager, 1998. Batak alphabet. [online]
http://www.omniglot.com/writing/batak.htm. februari 2010.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/,februari 2010.”
[7] Lihat
Yushar, sejarah indonesa (penerbit: unimed press), hlm 104
[8] Lihat
sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium
sampai imperium, hlm 437
[9] Lihat
hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia” Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah
indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Medan 20 Appril 2014
[10]Lihat
Hokkop nababan, dkk. “Perlawanan rakyat indonesia” Makalah, di sampaikan pada persentasi sejarah
indonesia 2 jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Medan 20 Appril 2014
Ada email pak saya mau lihatkan gambar
BalasHapus